Sabtu, 11 Maret 2017

Tumor Kelenjar Lakrimal



1.1. Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Lakrimal
a. Anatomi Kelenjar Lakrimal
            Kompleks lakrimalis terdiri atas kelenjar lakrimal, kelenjar lakrimalis aksesorius, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus nasolakrimalis. Kelenjar lakrimal tersusun atas struktur-struktur berikut:
1. Bagian orbita: berbentuk kenari, terletak di dalam fossa glandula lakrimalis di segmen superiorlateral anterior orbita yang dipisahkan dari bagian palpebra oleh kornu lateralis musculus levator palpebra.
2. Bagian palpebra: bagian yang lebih kecil, terletak tepat di atas segmen temporal forniks konjungtiva superior. Duktus sekretorius lakrimal yang bermuara pada sekitar sepuluh lubang kecil, menghubugkan bagian orbita dengan bagian palpebra kelenjar lakrimal dengan forniks konjungtiva superior. Kelenjar lakrimal aksesorius (glandula Krause dan Wolfring) terletak di dalam substansia propia di konjungtiva palpebra.1,5,6
Pembuluh darah dan limfe
            Perdarahan kelenjar air mata berasal dari arteri lakrimalis. Vena dan kelenjar bergabung dengan vena opthalmica. Drainase limfe bersatu dengan pembuluh limfe konjungtiva dan mengalir ke kelenjar getah bening periaurikular.
Persarafan
            Kelenjar air mata dipersarafi oleh (1) nervus lakrimalis (sensoris), suatu cabang dari divisi pertama trigeminus; (2) nervus petrosus superfisialis magna (sekretoris), yang datang dari nukleus salivarius superior, dan (3) saraf simpatis yang menyertai arteria dan nervus lakrimalis.1
b. Fisiologis Kelenjar Lakrimal
Sistem Sekresi Air Mata
            Volume terbesar air mata dihasilkan oleh kelenjar lakrimal yang terletak di fossa glandula lakrimalis di kuadran temporal atas orbita. Kelenjar yang berbentuk kenari ini dibagi oleh kornu lateral aponeurosis levator menjadi lobus orbita yang lebih besar dan lobus palpebra yang lebih kecil, masing-masing dengan sistem duktusnya yang bermuara ke forniks temporal superior. Lobus palpebra kadang-kadang dapat dilihat dengan membalikkan palpebra superior.
            Kelenjar lakrimalis aksesorius, meskipun hanya sepersepuluh dari massa kelenjar utama, mempunyai peranan penting. Struktur kelenjar Krause dan Wolfring identik dengan kelenjar utama, tapi tidak mempuyai duktus. Kelenjar-kelenjar ini terletak dalam konjungtiva, terutama di forniks superior. Sel-sel goblet uniseluler, yang juga tersebar di konjungtiva, mensekresi glikoprotein dalam bentuk musin. Modifikasi kelenjar sebasea meibom dan zeis di tepian palpebra memberi lipid pada air mata. Kelenjar Moll adalah modifikasi kelenjar keringatyang juga ikut membentuk film air mata.
            Sekresi kelenjar lakrimal dipicu oleh emosi atau iritasi fisik dan menyebabkan air mata mengalir melewati tepian palpebra. Kelenjar lakrimal aksesorius dikenal sebagai “pensekresi dasar”. Sekret yang dihasilkan normalnya cukup untuk memelihara kesehatan kornea. Hilangnya sel goblet berakibat mengeringnya kornea meskipun banyak air mata dari kelenjar lakrimal. 1,7
Sistem Ekskresi Air Mata
            Sistem ekskresi terdiri atas pungtum, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan ductus nasolakrimalis. Setiap kali berkedip, palpebra menutup seperti resleting mulai dari lateral, menyebabkan airmata secara merata di kornea dan menyalurkannya ke dalam sistem ekskresi pada aspek media palpebra. Pada kondisi normal, airmata dihasilkan dengan kecepatan kira-kira sesuai dengan kecepatan penguapannya. Dengan demikian, hanya sedikit yang sampai ke system ekskresi. Bila sudah memenuhi sakus konjungtiva, air mata akan memasuki pungta sebagian karena sedotan kapiler. Dengan menutup mata, bagian khusus orbikularis pratarsal yang mengelilingi ampula akan mengencang dan mencegahnya keluar. Bersamaan dengan itu, palpebra ditarik kearah krista lakrimalis posterior, dan traksi fascia yang mengelilingi sakus lakrimalis berakibat memendeknya kanalikulus dan menimbulkan tekanan negatif dalam sakus. Kerja pompa dinamik menarik air ke dalam sakus, yang kemudian berjalan melalui duktus nasolakrimalis karena pengaruh gaya berat dan elastisitas jaringan, ke dalam meatus inferior hidung. Lipatan-lipatan serupa katup milik epitel pelapis sakus cenderung menghambat aliran balik udara dan air mata. Yang paling berkembang diantara lipatan ini adalah katup Hasner, diujung distal duktus nasolakrimalis. Struktur ini penting karena bila tidak berlubang pada bayi, menjadi penyebab obstruksi kongenital dan dakriosistitis menahun.1,6
Air mata
            Volume air mata normal diperkirakan 7±2 ìL di setiap mata. Albumin mencakup 60% dari protein total air mata; sisanya globulin dan lisozim yang berjumlah sama banyak. Terdapat imunoglobulin IgA, IgG, dan IgE. Pada keadaan alergi tertentu, seperti konjungtivitis vernal, konsentrasi IgE dalam cairan air mata meningkat. Enzim air mata lain juga dapat berperan dalam diagnosis berbagai kondisi klinis tertentu, misalnya hexoseaminidase pada panyakit Tay-Sachs. Air mata juga mengandung sedikit glukosa (5mg/dL) dan urea (0,004 mg/dL), pH air mata adalah 7,35 dan dalam keadaan normal air mata bersifat isotonik.1,5 Air mata membentuk lapisan tipis setebal 7-10 mikrometer yang menutupi epitel kornea dan konjungtiva. Fungsi lapisan ultra-tipis ini adalah :
1. Membuat kornea menjadi permukaan optik yang licin dengan meniadakan ketidakteraturan minimal di permukaan epitel
2. Membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan konjungtiva yang lembut
3. Menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan pembilasan mekanik dan efek antimikroba
4. Menyediakan kornea sebagai substansi nutrien yang diperlukan1,5

1.2. Lacrimal Gland Neoplasm
            Lacrimal gland neoplasm merupakan suatu keadaan klinis yang jarang ditemukan. Diantara semuanya, tumor epitel yang paling sering dijumpai adalah lacrimal gland pleomorphic adenoma (LGPA), yang merupakan suatu tumor jinak kelenjar lakrimal. Dari keseluruhan lesi kelenjar lakrimal, 50% diantaranya berasal dari sel epitel. Tumor sel epitel ini sendiri bisa bersifat jinak dengan kejadian pleomorphic adenoma dengan angka tertinggi, bisa juga bersifat ganas, yaitu adenoid cystic carcinoma dengan prevalensi tertinggi. Secara terminology pleomorphic pertama sekali dikemukakan oleh Wilis, pleomorphic merupakan suatu tumor campuran berisi sel epitel dan komponen mesenkimal.2
            Pleomorphic adenoma sendiri merupakan tumor jinak dari sel epitel pada kelenjar lakrimal yang paling sering dijumpai. Sebagaimana tumor-tumor jinak lainnya, pleomorphic adenoma mempunyai onset dengan sifat progresifitas yang lambat, yaitu 6-12 bulan.
            Pleomorphic adenoma mempunyai klinis sebagai massa padat, tegas pada fosa lakrimalis dengan gejala yang ditimbulkan berupa proptosis yang tidak disertai nyeri, pergeseran bola mata kearah medioinferior. Pertumbuhan tumor pada pleomorphic adenoma juga mampu menstimulasi periosteum untuk membentuk suatu lapisan tipis berisi tulang-tulang baru (kortikasi).2,4,8

1.3. Klasifikasi Tumor Glandula Lakrimal4
·         Tumor Jinak Pleomorphic adenoma (benign mixed tumor)
Ø  Myoepithelioma
Ø  Oncocytoma
Ø  Cavernous hemangioma
·         Tumor Ganas Adenoid cystic carcinoma
Ø  Primary adenocarcinoma
Ø  Pleomorphic adenocarcinoma (malignant mixed tumor)
Ø  Mucoepidermoid carcinoma
Ø  Squamous cell carcinoma
Ø  Sebaceous cell carcinoma

1.4. Epidemiologi
            Data mengenai prevalensi lacrimal gland neoplasm dalam beberapa literature masih belum terlalu jelas diakibatkan oleh angka kejadian lacrimal gland neoplasm yang tidak terlalu banyak. Angka kejadian tumor epitel ganas pada kelenjar lakrimal mencapai 2% dari seluruh tumor-tumor orbita. Hampir sama dengan itu, angka kejadian tumor epitel jinak kelenjar lakrimal mencapai 4-9% dari seluruh kejadian tumor orbita dengan lebih dari setengah tumor epitel kelenjar lakrimal tersebut adalah pleomorphic adenoma.2,6,9

1.5. Patofisiologi dan Etiologi
            Translokasi kromosom yang terlihat pada kasus pleomorphic adenoma kelenjar saliva diduga terjadi juga pada LGPA. Secara spesifik, translokasi genetik terjadi pada PLGA1 (kromosom 8q12) atau gen HMGA2 yang dicurigai. Gen ini terlibat dalam proses pengiriman sinyal faktor pertumbuhan dan regulasi siklus sel.
            Kejadian pleomorphic adenoma, salah satunya adalah terpaut oleh umur penderita, dimana tumor kelenjer lakrimal paling banyak menyerang pada usia dekade ke tiga kehidupan (sekitar usia 30-an tahun) dan angka kejadian terbanyak terjadi pada usia remaja. Namun beberapa sumber juga menyebutkan bahwa pleomorphic adenoma paling sering terjadi pada dekade ke-4 dan ke-5 masa kehidupan.6,9

1.6. Diagnosis
            Pada penegakan diagnosis, presentasi klinis kejadian tumor-lacrimal gland neoplasm sangatlah bervariasi pada tiap-tiap pasien. Lacrimal gland neoplasm bisa saja didapati sebagai suatu penyakit yang asimptomatis, namun terkadang dapat dirasakan bengkak pada daerah superiolateral orbita, dengan diikuti adanya gejala proptosis, diplopia dan adanya massa yang teraba jelas. Keadaan ini biasanya dirasakan cukup lama (sekitar 1-2 tahun), pada lesi kelenjar lakrimal yang bersifat tidak menginfiltrasi (tumor jinak), misalnya pada pleomorphic adenoma. Sedangkan pada keluhan yang dirasakan pada waktu singkat, kita bisa curiga dengan suatu proses keganasan pada kelenjar lakrimal. Pada kasus – kasus lesi jinak, termasuk didalamnya pleomorphic adenoma, manifestasi klinis didapati rasa penuh pada daerah superotemporal orbita dan pergerseran bola mata (globe displacement) ke daerah inferonasal yang tidak disertai dengan rasa nyeri (painless).
            Sedangkan pada kasus-kasus keganasan, nyeri terasa amat sangat disertai dengan adanya tanda-tanda inflamasi. Nyeri juga dapat dirasakan seperti nyeri pada daerah persarafan, serta adanya keterlibatan nyeri pada tulang. Pada tumor ganas kelenjar lakrimal juga didapati keadaan proptosis yang terjadi dalam jangka waktu singkat, dan diikuti oleh gangguan sensoris pada daerah temporal yang dilalui oleh persarafan lakrimal pada sepertiga pasien tumor ganas. Diplopia dan gangguan penglihatan dapat terjadi juga pada lesi progresif. 6,9

Pemeriksaan Fisik
            Pada pemeriksaan fisik dapat digunakan untuk alat bantu diagnosis kejadian lacrimal gland neoplasm. Pada inspeksi dapat terlihat pergesaran bola mata dengan atau tanpa proptosis, yang merupakan manifestasi klinis utama pada kasus lacrimal gland neoplasm (terjadi pada 75% kasus). Presentasi klinis ini secara karakteristik berupa pergeseran bola mata non-axial kearah inferomedial (nonaxial with inferomedial globe displacement). Suatu kontur berbentuk huruf S pada bagian atas kelopak mata juga sering dijumpai pada lesi kelenjar lakrimal, tapi relatif non-spesifik untuk jenis tumor. Pada palpasi, massa dapat teraba ataupun tidak teraba pada fosa lakrimalis. Massa yang padat, berbatas tegas, konsistensi lunak, non-tender didapati pada tumor jinak ataupun tumor limphoproliferative. Penurunan tes Schrimer untuk menilai lesi inflamasi curiga keganasan. Temuan lain yang mungkin saja didapatkan berupa keterbatasan gerakan bola mata, peningkatan tekanan intra okuli dan gangguan chorioretinal. Temuan non-okular dapat berupa preauricular lymphadenopathy yang berasal dari metastasis lesi maligna.6,9,10

Pemeriksaan Penunjang
            Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis glaukoma tekanan normal:

1. Penilaian tekanan intraokular
            Tonometri adalah pengukuran terhadap tekanan intraokular. Tekanan intraokular pada populasi adalah sekitar 15-20mmHg. Instrumen yang paling sering digunakan adalah tonometer aplanasi Goldman, yang dilekatkan ke slitlamp dan mengukur gaya yang diperlukan untuk meratakan daerah kornea tertentu. Ketebalan kornea berpengaruh terhadap keakuratan pengukuran.
            Pengukuran IOP dengan Tonometri Goldman terbatas pada keadaan korneal astigmatisme dengan dioptri lebih dari 3 dioptri. Tonometer aplanasi lainnya, yaitu tonometer Perkins dan TonoPen, keduanya portabel; pneumatotonometer, yang dapat digunakan walaupun terdapat lensa kontak lunak di permukaan kornea yang ireguler. Tekanan intraokular dapat ditemukan pada kasus-kasus lacrimal gland neoplasm. Tonometer Schiotz, sekarang sudah jarang digunakan, mengukur besarnya indentasi kornea yang dihasilkan oleh beban yang telah ditentukan. Dengan makin meningkatnya tekanan intraokular, makin sedikit indentasi kornea yang terjadi. 10,11,12

2. Hertel Exophtalmometry
            Merupakan metode untuk mengukur lokasi anteroposterior bola mata terhadap tepian tulang orbita. Eksoftalmometer adalah suatu instrument manual dengan 2 alat pengukur yang identik, yang dihubungkan dengan balok horizontal.
            Jarak antar ke 2 alat dapat diubah dengan menggeser salah satunya agar mendekat atau menjauh, dan masing-masing memiliki takik yang pas untuk menahan tepian orbita lateral yang sesuai. Bila diposisikan dengan tepat, 1 set cermin yang terpasang akan memantulkan bayangan samping masing-masing mata di sisi sebuah skala pengukur, yang terkalibrasi dalam millimeter. Ujung bayangan kornea yang sejajar dengan bacaan skala menunjukkan jaraknya dari tepian orbita.
            Jarak dari kornea ke tepian orbita biasanya berkisar dari 12-20mm, dan ukuran kedua mata biasanya berselisih tidak lebih dari 2mm. Jarak yang lebih besar terdapat pada eksoftalmos, bisa uni atau bilateral. Penonjolan mata yang abnormal ini dapat disebabkan oleh penambahan massa orbita apapun, mengingat ukuran rongga orbita tulang tetap. Penyebabnya antara lain perdarahan orbita, neoplasma, radang, atau edema.1
            Kondisi yang diperhatikan adalah apakah pergeseran posisi bola mata axial globe displacement ataupun non axial globe displacement.
·         Axial (anteroposterior protruding globe): tanpa pergeseran secara horizontal ataupun vertical. Terjadi pada orbitopati yang general seperti thyroid eye disease ataupun massa intraconal.
·         Non-axial : terdapat pergeseran bola mata secara vertical ataupun horizontal akibat pendorongan massa ke arah samping. Sebagai contohnya, terjadi pada lacrimal gland neoplasm pada region superolateral mendorong bola mata kearah inferomedial.13

3. Tes Schrimer
            Dilakukan dengan mengeringkan film air mata dan memasukkan strip schrimer (kertas saring Whatman No. 41) kedalam cul-de-sac konjungtiva inferior. Bagian basah yang terpajan diukur 5 menit setelah dimasukkan. Panjang bagian basah kurang dari 10mm tanpa anestesi dianggap abnormal. Bila dilakukan tanpa anestesi, uji ini mengukur kelenjar lakrimal yang utama, yang aktivitas sekresinya oleh iritasi kertas saring. Uji Schrimer adalah uji penyaring untuk menilai produksi air mata.1

4. Pemeriksaan Pencitraan
·         CT scan : merupakan pemeriksaan radiologi yang paling sering digunakan dalam penegakan diagnosis pleomorphic adenoma. Bersama dengan MRI, CT scan dapat memberikan gambaran anatomi secara luas, konfigurasi, batas tumor, dan angulasi yang ditimbulkan oleh massa pada fossa glandula. Namun, yang menjadi kelebihan CT scan adalah adanya gambaran yang detail mengenai keterlibatan tulang dan adanya kalsifikasi.
·         MRI : baik digunakan untuk menilai jaringan lunak namun tidak untuk jaringan tulang. Berbeda dengan CT scan, MRI memberikan tampilan yang lebih baik pada tampilan jaringan lunak dan ekstensi intrakranial. Pleomorphic adenoma memberikan tampilan lesi isointense dengan batas yang teratur, ketika dibandingkan dengan gambaran otot ekstraokuler dan serebral gray matter pada gambaran T1 dan gambaran hiperintense pada gambaran T2 dengan bantuan iv contrast.3,6,13

5. Pemeriksaan Histopatologi
            Walaupun gambaran radiologi sudah mampu memberikan diagnosis preoperatif, namun diagnosis definitif yang menjadi gold standard adalah berdasarkan pemeriksaan histopatologi.

Gambaran Histopatologi
            Lacrimal gland pleomorphic adenoma merupakan suatu tumor jinak dengan massa yang berbatas tegas, sering mengakibatkan kompresi atropi pada kelenjar normal, pergeseran jaringan lakrimal normal, dan tumor ini diselubungi oleh suatu “pseudocapsule” yang memungkinkan pertumbuhan suatu adenoma.
            Pada gambaran histopatologi ditemukan suatu susunan epitel tubulus yang berdiferensiasi baik yang berasal dari duktus kelenjar lakrimal dengan myxomatous jaringan ikat longgar. Perlu diketahui bahwa gambaran ini sering terdiagnosa dengan suatu keganasan, perlu dilakukan pemeriksaan apakah terdapat tanda keganasan yang ditemukan, untuk mengkonfirmasi diagnosis suatu LGPA (lacrimal gland pleomorphic adenoma).3,6,14

1.7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk kasus ini antara lain beberapa tumor, baik itu tumor jinak ataupun tumor ganas, yang menyerang kelenjar lakrimal ataupun tumor didaerah lain yang mengakibatkan pendorongan kearah orbita, misalnya:
1. Adenoid cystic carcinoma,
2. Granulomatous dacryoadenitis (sarcoidosis),
3. Benign lymphoid hyperplasia,
4. Intracranial schwannoma
Pada tumor-tumor ganas kelenjar lakrimal, dijumpai sifat progresifitas tumor yang tinggi dan cepat. Keluhan utama selain benjolan, dijumpai nyeri proptosis.
Pada gambaran histopatologi dijumpai gambaran mirip tumor jinak campuran, namun terlihat gambaran focus-fokus malignansi.
5. Lymphoma, ditandai dengan benjolan. Menyerang kelenjar limfe. Limfoma merupakan penyebab limfadenopati servikal dibandingkan tumor-tumor metastasis
6. Sjogren’s Syndrome, merupakan suatu inflamasi kronik yang ditandai dengan infiltrasi limfositik pada organ eksokrin. Pasien-pasien dengan sjorgen syndrome datang dengan keluhan mata kering, mulut kering, pembesaran kalenjar parotis.
7. Cavernous hemangioma, merupakan suatu tumor intraorbital yang paling sering terjadi pada orang dewasa. Lesi jinak yang menyerang sistem pembuluh darah ini berkembang secara lambat dangan manifestasi klinis tidak disertai nyeri, dan proptosis yang progresif.3

1.8. Penatalaksanaan
            Tatalaksana yang dianjurkan pada kasus-kasus pleomorphic adenoma adalah eksisi total pada tumor dan pada jaringan-jaringan sekitar, biasanya dilakukan lateral orbitotomy. Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan, biopsi preoperatif ataupun reseksi dapat meningkatkan resiko rekurensi tumor (bahkan dalam beberapa tahun berikutnya), ataupun perubahan sisa tumor menuju suatu proses malignansi. Setiap defek pada kapsul dapat mengakibatkan bagian mixoid berefusi dan relaps, yang dapat meningkatkan kejadian transformasi kearah suatu malignansi.2,3,10,15
            Pengobatan pada Lacrimal Gland Neoplasm bisa juga dengan terapi radiasi untuk lesi limfoid, dengan kisaran radiasi 2000-3000 cGy. Antineoplastic agents sering diberikan dengan anjuran dari onkologist, biasanya dibutuhkan pada penyakit sistemik.9

1.9. Komplikasi3
1. Pendarahan Orbital
2. Edema
3. Kompresi nervus optikus
4. Infeksi orbital
5. Dry eye syndrome
6. Tosis
7. Retraksi palpebra
8. Diplopia yang bersifat sementara.

1.10. Prognosis
            Prognosis pada kasus ini terbilang baik pada lesi-lesi yang telah dilakukan eksisi total dengan kapsul yang intak. Rekurensi rasio dalam 5 tahun setelah dilakukan eksisi hanya terjadi pada 3% kasus dengan eksisi total dan 32% dalam 15 tahun pada kasus dengan eksisi inklompit. Dikatakan juga 10% pleomorphic adenoma akan berubah menjadi sel ganas dalam 20 tahun setelah pengobatan pertama dan 20% pada 30 tahun setelahnya dengan gambaran perubahan pleomorphic adenoma menjadi suatu squamous cell carcinoma dalam 19 tahun setelah dilakukannya tindakan operasi.3,15,16







DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan-Eva P, Whitcher JP. 2010. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC.
2. Binatli O, Yaman O, Ozdemir N, Erdogan IG. Pleomorphic Adenoma of Lacrimal Gland, a case report. JSCR. 2013;10: 1-4.
3. Iyeyasu JN, Reis F, Altemani AM, Carvalho KM. An Unususal Presentation of Lacrimal Gland Pleomorphic Adenoma. Rev Bras Oftalmol.2013;72 (5):339-340
4. Galloway NR, Amoaku WMK, Galloway PH, Browning AC. 2006.Common Eye Diseases and Their Management. 3rd ed. London: Springer. 127-128
5. Ilyas S. 2008. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ke-3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
6. American Academy of Ophthalmology. 2014.Opthalmic Pathology and Intraocular Tumor, Section 4, Orbit, Eyelids and Lacrimal System, section 7. San Francisco: AAO
7. Jogi R. 2009. Basic Ophthalmology. 4th Ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher. 424-427
8. Trattler W, Kaiser PK, Friedman NJ. 2012. Review of Ophthalmology. 2nd Ed. San Francisco: Elsevier.166-168
9. DeAngelis DD. 2015. Lacrimal Gland Tumor. Available at: http://reference.medscape.com/article/1210619-overview.com [accessed in 14th November 2015]
10. Kanski J. 2015. Kanski’s Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. 8th Ed. Australia: Elsevier. 103-106
11. Riordan-Eva P, Whitcher JP. 2008. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 17th Ed. USA: The McGraww-Hill Companies.
12. Yanoff M, Duker JS. 2014. Ophthalmology. 4th Ed. USA: Elsevier,1297- 1299
13. Olver J, Cassidy L. 2005. Ophthalmology at a Glance. USA: Blackwell Science. 58-60
14. Said MS. 2013. Pathology of Carcinoma Ex Pleomorphic Adenoma. http://emedicine.medscape.com/article/1652374-overview.com [accessed in: 14th November 2015]
15. Vander JF, Gault JA. Ophthalmology Secrets in Colour, 3rd edition. USA: Molby Elsevier,432-433
16. Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. 2011. Oxford American Handbook of Ophthalmology. China: Oxford University Press, 487-488
17. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Lids, Lacrimal Apparatus, and Tears. In : Vaughan DG, Asbury T, Riodan-Eva P. General Ophthalmology. 14th Ed. New York : Mc.Graw Hill; 2004 : 92-98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar