1.1.
Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Lakrimal
a.
Anatomi Kelenjar Lakrimal
Kompleks lakrimalis terdiri atas
kelenjar lakrimal, kelenjar lakrimalis aksesorius, kanalikuli, sakus lakrimalis,
dan duktus nasolakrimalis. Kelenjar lakrimal tersusun atas struktur-struktur
berikut:
1.
Bagian orbita: berbentuk kenari, terletak di dalam fossa glandula lakrimalis di
segmen superiorlateral anterior orbita yang dipisahkan dari bagian palpebra
oleh kornu lateralis musculus levator palpebra.
2.
Bagian palpebra: bagian yang lebih kecil, terletak tepat di atas segmen temporal
forniks konjungtiva superior. Duktus sekretorius lakrimal yang bermuara pada
sekitar sepuluh lubang kecil, menghubugkan bagian orbita dengan bagian palpebra
kelenjar lakrimal dengan forniks konjungtiva superior. Kelenjar lakrimal
aksesorius (glandula Krause dan Wolfring) terletak di dalam substansia propia
di konjungtiva palpebra.1,5,6
Pembuluh
darah dan limfe
Perdarahan kelenjar air mata berasal
dari arteri lakrimalis. Vena dan kelenjar bergabung dengan vena opthalmica.
Drainase limfe bersatu dengan pembuluh limfe konjungtiva dan mengalir ke
kelenjar getah bening periaurikular.
Persarafan
Kelenjar air mata dipersarafi oleh
(1) nervus lakrimalis (sensoris), suatu cabang dari divisi pertama trigeminus;
(2) nervus petrosus superfisialis magna (sekretoris), yang datang dari nukleus
salivarius superior, dan (3) saraf simpatis yang menyertai arteria dan nervus
lakrimalis.1
b.
Fisiologis Kelenjar Lakrimal
Sistem
Sekresi Air Mata
Volume terbesar air mata dihasilkan
oleh kelenjar lakrimal yang terletak di fossa glandula lakrimalis di kuadran
temporal atas orbita. Kelenjar yang berbentuk kenari ini dibagi oleh kornu
lateral aponeurosis levator menjadi lobus orbita yang lebih besar dan lobus
palpebra yang lebih kecil, masing-masing dengan sistem duktusnya yang bermuara
ke forniks temporal superior. Lobus palpebra kadang-kadang dapat dilihat dengan
membalikkan palpebra superior.
Kelenjar lakrimalis aksesorius,
meskipun hanya sepersepuluh dari massa kelenjar utama, mempunyai peranan penting.
Struktur kelenjar Krause dan Wolfring identik dengan kelenjar utama, tapi tidak
mempuyai duktus. Kelenjar-kelenjar ini terletak dalam konjungtiva, terutama di
forniks superior. Sel-sel goblet uniseluler, yang juga tersebar di konjungtiva,
mensekresi glikoprotein dalam bentuk musin. Modifikasi kelenjar sebasea meibom
dan zeis di tepian palpebra memberi lipid pada air mata. Kelenjar Moll adalah
modifikasi kelenjar keringatyang juga ikut membentuk film air mata.
Sekresi kelenjar lakrimal dipicu oleh
emosi atau iritasi fisik dan menyebabkan air mata mengalir melewati tepian
palpebra. Kelenjar lakrimal aksesorius dikenal sebagai “pensekresi dasar”. Sekret
yang dihasilkan normalnya cukup untuk memelihara kesehatan kornea. Hilangnya
sel goblet berakibat mengeringnya kornea meskipun banyak air mata dari kelenjar
lakrimal. 1,7
Sistem
Ekskresi Air Mata
Sistem ekskresi terdiri atas pungtum,
kanalikuli, sakus lakrimalis, dan ductus nasolakrimalis. Setiap kali berkedip,
palpebra menutup seperti resleting mulai dari lateral, menyebabkan airmata
secara merata di kornea dan menyalurkannya ke dalam sistem ekskresi pada aspek
media palpebra. Pada kondisi normal, airmata dihasilkan dengan kecepatan
kira-kira sesuai dengan kecepatan penguapannya. Dengan demikian, hanya sedikit
yang sampai ke system ekskresi. Bila sudah memenuhi sakus konjungtiva, air mata
akan memasuki pungta sebagian karena sedotan kapiler. Dengan menutup mata,
bagian khusus orbikularis pratarsal yang mengelilingi ampula akan mengencang
dan mencegahnya keluar. Bersamaan dengan itu, palpebra ditarik kearah krista lakrimalis
posterior, dan traksi fascia yang mengelilingi sakus lakrimalis berakibat memendeknya
kanalikulus dan menimbulkan tekanan negatif dalam sakus. Kerja pompa dinamik
menarik air ke dalam sakus, yang kemudian berjalan melalui duktus
nasolakrimalis karena pengaruh gaya berat dan elastisitas jaringan, ke dalam meatus
inferior hidung. Lipatan-lipatan serupa katup milik epitel pelapis sakus
cenderung menghambat aliran balik udara dan air mata. Yang paling berkembang
diantara lipatan ini adalah katup Hasner, diujung distal duktus nasolakrimalis.
Struktur ini penting karena bila tidak berlubang pada bayi, menjadi penyebab
obstruksi kongenital dan dakriosistitis menahun.1,6
Air
mata
Volume air mata normal diperkirakan
7±2 ìL di setiap mata. Albumin mencakup 60% dari protein total air mata; sisanya
globulin dan lisozim yang berjumlah sama banyak. Terdapat imunoglobulin IgA,
IgG, dan IgE. Pada keadaan alergi tertentu, seperti konjungtivitis vernal,
konsentrasi IgE dalam cairan air mata meningkat. Enzim air mata lain juga dapat
berperan dalam diagnosis berbagai kondisi klinis tertentu, misalnya
hexoseaminidase pada panyakit Tay-Sachs. Air mata juga mengandung sedikit
glukosa (5mg/dL) dan urea (0,004 mg/dL), pH air mata adalah 7,35 dan dalam
keadaan normal air mata bersifat isotonik.1,5 Air mata membentuk
lapisan tipis setebal 7-10 mikrometer yang menutupi epitel kornea dan
konjungtiva. Fungsi lapisan ultra-tipis ini adalah :
1.
Membuat kornea menjadi permukaan optik yang licin dengan meniadakan ketidakteraturan
minimal di permukaan epitel
2.
Membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan konjungtiva yang lembut
3.
Menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan pembilasan mekanik dan efek
antimikroba
4.
Menyediakan kornea sebagai substansi nutrien yang diperlukan1,5
1.2.
Lacrimal Gland Neoplasm
Lacrimal gland neoplasm merupakan suatu
keadaan klinis yang jarang ditemukan. Diantara semuanya, tumor epitel yang
paling sering dijumpai adalah lacrimal gland pleomorphic adenoma (LGPA), yang
merupakan suatu tumor jinak kelenjar lakrimal. Dari keseluruhan lesi kelenjar
lakrimal, 50% diantaranya berasal dari sel epitel. Tumor sel epitel ini sendiri
bisa bersifat jinak dengan kejadian pleomorphic adenoma dengan angka tertinggi,
bisa juga bersifat ganas, yaitu adenoid cystic carcinoma dengan prevalensi
tertinggi. Secara terminology pleomorphic pertama sekali dikemukakan oleh
Wilis, pleomorphic merupakan suatu tumor campuran berisi sel epitel dan
komponen mesenkimal.2
Pleomorphic adenoma sendiri
merupakan tumor jinak dari sel epitel pada kelenjar lakrimal yang paling sering
dijumpai. Sebagaimana tumor-tumor jinak lainnya, pleomorphic adenoma mempunyai
onset dengan sifat progresifitas yang lambat, yaitu 6-12 bulan.
Pleomorphic adenoma mempunyai klinis
sebagai massa padat, tegas pada fosa lakrimalis dengan gejala yang ditimbulkan
berupa proptosis yang tidak disertai nyeri, pergeseran bola mata kearah
medioinferior. Pertumbuhan tumor pada pleomorphic adenoma juga mampu menstimulasi
periosteum untuk membentuk suatu lapisan tipis berisi tulang-tulang baru
(kortikasi).2,4,8
1.3.
Klasifikasi Tumor Glandula Lakrimal4
·
Tumor
Jinak Pleomorphic adenoma (benign mixed tumor)
Ø
Myoepithelioma
Ø
Oncocytoma
Ø
Cavernous
hemangioma
·
Tumor
Ganas Adenoid cystic carcinoma
Ø Primary
adenocarcinoma
Ø Pleomorphic
adenocarcinoma (malignant mixed tumor)
Ø Mucoepidermoid
carcinoma
Ø Squamous cell
carcinoma
Ø Sebaceous cell
carcinoma
1.4.
Epidemiologi
Data mengenai prevalensi lacrimal
gland neoplasm dalam beberapa literature masih belum terlalu jelas diakibatkan
oleh angka kejadian lacrimal gland neoplasm yang tidak terlalu banyak. Angka
kejadian tumor epitel ganas pada kelenjar lakrimal mencapai 2% dari seluruh tumor-tumor
orbita. Hampir sama dengan itu, angka kejadian tumor epitel jinak kelenjar
lakrimal mencapai 4-9% dari seluruh kejadian tumor orbita dengan lebih dari
setengah tumor epitel kelenjar lakrimal tersebut adalah pleomorphic adenoma.2,6,9
1.5.
Patofisiologi dan Etiologi
Translokasi kromosom yang terlihat
pada kasus pleomorphic adenoma kelenjar saliva diduga terjadi juga pada LGPA.
Secara spesifik, translokasi genetik terjadi pada PLGA1 (kromosom 8q12) atau
gen HMGA2 yang dicurigai. Gen ini terlibat dalam proses pengiriman sinyal
faktor pertumbuhan dan regulasi siklus sel.
Kejadian pleomorphic adenoma, salah
satunya adalah terpaut oleh umur penderita, dimana tumor kelenjer lakrimal paling
banyak menyerang pada usia dekade ke tiga kehidupan (sekitar usia 30-an tahun)
dan angka kejadian terbanyak terjadi pada usia remaja. Namun beberapa sumber
juga menyebutkan bahwa pleomorphic adenoma paling sering terjadi pada dekade
ke-4 dan ke-5 masa kehidupan.6,9
1.6.
Diagnosis
Pada penegakan diagnosis, presentasi
klinis kejadian tumor-lacrimal gland neoplasm sangatlah bervariasi pada
tiap-tiap pasien. Lacrimal gland neoplasm bisa saja didapati sebagai suatu
penyakit yang asimptomatis, namun terkadang dapat dirasakan bengkak pada daerah
superiolateral orbita, dengan diikuti adanya gejala proptosis, diplopia dan
adanya massa yang teraba jelas. Keadaan ini biasanya dirasakan cukup lama
(sekitar 1-2 tahun), pada lesi kelenjar lakrimal yang bersifat tidak
menginfiltrasi (tumor jinak), misalnya pada pleomorphic adenoma. Sedangkan pada
keluhan yang dirasakan pada waktu singkat, kita bisa curiga dengan suatu proses
keganasan pada kelenjar lakrimal. Pada kasus – kasus lesi jinak, termasuk
didalamnya pleomorphic adenoma, manifestasi klinis didapati rasa penuh pada
daerah superotemporal orbita dan pergerseran bola mata (globe displacement) ke
daerah inferonasal yang tidak disertai dengan rasa nyeri (painless).
Sedangkan pada kasus-kasus
keganasan, nyeri terasa amat sangat disertai dengan adanya tanda-tanda
inflamasi. Nyeri juga dapat dirasakan seperti nyeri pada daerah persarafan,
serta adanya keterlibatan nyeri pada tulang. Pada tumor ganas kelenjar lakrimal
juga didapati keadaan proptosis yang terjadi dalam jangka waktu singkat, dan
diikuti oleh gangguan sensoris pada daerah temporal yang dilalui oleh
persarafan lakrimal pada sepertiga pasien tumor ganas. Diplopia dan gangguan
penglihatan dapat terjadi juga pada lesi progresif. 6,9
Pemeriksaan
Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat digunakan
untuk alat bantu diagnosis kejadian lacrimal gland neoplasm. Pada inspeksi
dapat terlihat pergesaran bola mata dengan atau tanpa proptosis, yang merupakan
manifestasi klinis utama pada kasus lacrimal gland neoplasm (terjadi pada 75% kasus).
Presentasi klinis ini secara karakteristik berupa pergeseran bola mata
non-axial kearah inferomedial (nonaxial with inferomedial globe displacement).
Suatu kontur berbentuk huruf S pada bagian atas kelopak mata juga sering
dijumpai pada lesi kelenjar lakrimal, tapi relatif non-spesifik untuk jenis
tumor. Pada palpasi, massa dapat teraba ataupun tidak teraba pada fosa
lakrimalis. Massa yang padat, berbatas tegas, konsistensi lunak, non-tender
didapati pada tumor jinak ataupun tumor limphoproliferative. Penurunan tes
Schrimer untuk menilai lesi inflamasi curiga keganasan. Temuan lain yang
mungkin saja didapatkan berupa keterbatasan gerakan bola mata, peningkatan
tekanan intra okuli dan gangguan chorioretinal. Temuan non-okular dapat berupa
preauricular lymphadenopathy yang berasal dari metastasis lesi maligna.6,9,10
Pemeriksaan
Penunjang
Beberapa pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis glaukoma tekanan normal:
1.
Penilaian tekanan intraokular
Tonometri adalah pengukuran terhadap
tekanan intraokular. Tekanan intraokular pada populasi adalah sekitar 15-20mmHg.
Instrumen yang paling sering digunakan adalah tonometer aplanasi Goldman, yang
dilekatkan ke slitlamp dan mengukur gaya yang diperlukan untuk meratakan daerah
kornea tertentu.
Ketebalan kornea berpengaruh terhadap keakuratan pengukuran.
Pengukuran IOP dengan Tonometri
Goldman terbatas pada keadaan korneal astigmatisme dengan dioptri lebih dari 3
dioptri. Tonometer aplanasi lainnya, yaitu tonometer Perkins dan TonoPen,
keduanya portabel; pneumatotonometer, yang dapat digunakan walaupun terdapat
lensa kontak lunak di permukaan kornea yang ireguler. Tekanan intraokular dapat
ditemukan pada kasus-kasus lacrimal gland neoplasm. Tonometer Schiotz, sekarang
sudah jarang digunakan, mengukur besarnya indentasi kornea yang dihasilkan oleh
beban yang telah ditentukan. Dengan makin meningkatnya tekanan intraokular,
makin sedikit indentasi kornea yang terjadi. 10,11,12
2.
Hertel Exophtalmometry
Merupakan metode untuk mengukur
lokasi anteroposterior bola mata terhadap tepian tulang orbita. Eksoftalmometer
adalah suatu instrument manual dengan 2 alat pengukur yang identik, yang
dihubungkan dengan balok horizontal.
Jarak antar ke 2 alat dapat diubah
dengan menggeser salah satunya agar mendekat atau menjauh, dan masing-masing
memiliki takik yang pas untuk menahan tepian orbita lateral yang sesuai. Bila
diposisikan dengan tepat, 1 set cermin yang terpasang akan memantulkan bayangan
samping masing-masing mata di sisi sebuah skala pengukur, yang terkalibrasi dalam
millimeter. Ujung bayangan kornea yang sejajar dengan bacaan skala menunjukkan
jaraknya dari tepian orbita.
Jarak dari kornea ke tepian orbita
biasanya berkisar dari 12-20mm, dan ukuran kedua mata biasanya berselisih tidak
lebih dari 2mm. Jarak yang lebih besar terdapat pada eksoftalmos, bisa uni atau
bilateral. Penonjolan mata yang abnormal ini dapat disebabkan oleh penambahan
massa orbita apapun, mengingat ukuran rongga orbita tulang tetap. Penyebabnya
antara lain perdarahan orbita, neoplasma, radang, atau edema.1
Kondisi yang diperhatikan adalah apakah
pergeseran posisi bola mata axial globe displacement ataupun non axial globe
displacement.
·
Axial
(anteroposterior protruding globe): tanpa pergeseran secara horizontal ataupun
vertical. Terjadi pada orbitopati yang general seperti thyroid eye disease
ataupun massa intraconal.
·
Non-axial
: terdapat pergeseran bola mata secara vertical ataupun horizontal akibat
pendorongan massa ke arah samping. Sebagai contohnya, terjadi pada lacrimal
gland neoplasm pada region superolateral mendorong bola mata kearah
inferomedial.13
3. Tes Schrimer
Dilakukan dengan mengeringkan film
air mata dan memasukkan strip schrimer (kertas saring Whatman No. 41) kedalam
cul-de-sac konjungtiva inferior. Bagian basah yang terpajan diukur 5 menit setelah
dimasukkan. Panjang bagian basah kurang dari 10mm tanpa anestesi dianggap
abnormal. Bila dilakukan tanpa anestesi, uji ini mengukur kelenjar lakrimal
yang utama, yang aktivitas sekresinya oleh iritasi kertas saring. Uji Schrimer
adalah uji penyaring untuk menilai produksi air mata.1
4. Pemeriksaan
Pencitraan
·
CT
scan : merupakan pemeriksaan radiologi yang paling sering digunakan dalam
penegakan diagnosis pleomorphic adenoma. Bersama dengan MRI, CT scan dapat
memberikan gambaran anatomi secara luas, konfigurasi, batas tumor, dan angulasi
yang ditimbulkan oleh massa pada fossa glandula. Namun, yang menjadi kelebihan
CT scan adalah adanya gambaran yang detail mengenai keterlibatan tulang dan adanya
kalsifikasi.
·
MRI
: baik digunakan untuk menilai jaringan lunak namun tidak untuk jaringan tulang.
Berbeda dengan CT scan, MRI memberikan tampilan yang lebih baik pada tampilan
jaringan lunak dan ekstensi intrakranial. Pleomorphic adenoma memberikan
tampilan lesi isointense dengan batas yang teratur, ketika dibandingkan dengan
gambaran otot ekstraokuler dan serebral gray matter pada gambaran T1 dan
gambaran hiperintense pada gambaran T2 dengan bantuan iv contrast.3,6,13
5. Pemeriksaan
Histopatologi
Walaupun gambaran radiologi sudah
mampu memberikan diagnosis preoperatif, namun diagnosis definitif yang menjadi
gold standard adalah berdasarkan pemeriksaan histopatologi.
Gambaran
Histopatologi
Lacrimal gland pleomorphic adenoma
merupakan suatu tumor jinak dengan massa yang berbatas tegas, sering mengakibatkan
kompresi atropi pada kelenjar normal, pergeseran jaringan lakrimal normal, dan
tumor ini diselubungi oleh suatu “pseudocapsule” yang memungkinkan pertumbuhan
suatu adenoma.
Pada gambaran histopatologi
ditemukan suatu susunan epitel tubulus yang berdiferensiasi baik yang berasal
dari duktus kelenjar lakrimal dengan myxomatous jaringan ikat longgar. Perlu
diketahui bahwa gambaran ini sering terdiagnosa dengan suatu keganasan, perlu
dilakukan pemeriksaan apakah terdapat tanda keganasan yang ditemukan, untuk
mengkonfirmasi diagnosis suatu LGPA (lacrimal gland pleomorphic adenoma).3,6,14
1.7. Diagnosis
Banding
Diagnosis
banding untuk kasus ini antara lain beberapa tumor, baik itu tumor jinak
ataupun tumor ganas, yang menyerang kelenjar lakrimal ataupun tumor didaerah
lain yang mengakibatkan pendorongan kearah orbita, misalnya:
1. Adenoid
cystic carcinoma,
2. Granulomatous
dacryoadenitis (sarcoidosis),
3. Benign
lymphoid hyperplasia,
4. Intracranial
schwannoma
Pada tumor-tumor ganas kelenjar
lakrimal, dijumpai sifat progresifitas tumor yang tinggi dan cepat. Keluhan
utama selain benjolan, dijumpai nyeri proptosis.
Pada gambaran histopatologi dijumpai
gambaran mirip tumor jinak campuran, namun terlihat gambaran focus-fokus
malignansi.
5. Lymphoma,
ditandai dengan benjolan. Menyerang kelenjar limfe. Limfoma merupakan penyebab
limfadenopati servikal dibandingkan tumor-tumor metastasis
6. Sjogren’s
Syndrome, merupakan suatu inflamasi kronik yang ditandai dengan infiltrasi
limfositik pada organ eksokrin. Pasien-pasien dengan sjorgen syndrome datang
dengan keluhan mata kering, mulut kering, pembesaran kalenjar parotis.
7. Cavernous
hemangioma, merupakan suatu tumor intraorbital yang paling sering terjadi pada
orang dewasa. Lesi jinak yang menyerang sistem pembuluh darah ini berkembang
secara lambat dangan manifestasi klinis tidak disertai nyeri, dan proptosis
yang progresif.3
1.8.
Penatalaksanaan
Tatalaksana yang dianjurkan pada
kasus-kasus pleomorphic adenoma adalah eksisi total pada tumor dan pada jaringan-jaringan
sekitar, biasanya dilakukan lateral orbitotomy. Pada beberapa penelitian yang
telah dilakukan, biopsi preoperatif ataupun reseksi dapat meningkatkan resiko
rekurensi tumor (bahkan dalam beberapa tahun berikutnya), ataupun perubahan
sisa tumor menuju suatu proses malignansi. Setiap defek pada kapsul dapat
mengakibatkan bagian mixoid berefusi dan relaps, yang dapat meningkatkan
kejadian transformasi kearah suatu malignansi.2,3,10,15
Pengobatan pada Lacrimal Gland Neoplasm
bisa juga dengan terapi radiasi untuk lesi limfoid, dengan kisaran radiasi
2000-3000 cGy. Antineoplastic agents sering diberikan dengan anjuran dari onkologist,
biasanya dibutuhkan pada penyakit sistemik.9
1.9. Komplikasi3
1. Pendarahan Orbital
2. Edema
3. Kompresi nervus optikus
4. Infeksi orbital
5. Dry eye syndrome
6. Tosis
7. Retraksi palpebra
8. Diplopia yang bersifat sementara.
1.10. Prognosis
Prognosis pada kasus ini terbilang
baik pada lesi-lesi yang telah dilakukan eksisi total dengan kapsul yang intak.
Rekurensi rasio dalam 5 tahun setelah dilakukan eksisi hanya terjadi pada 3%
kasus dengan eksisi total dan 32% dalam 15 tahun pada kasus dengan eksisi
inklompit. Dikatakan juga 10% pleomorphic adenoma akan berubah menjadi sel
ganas dalam 20 tahun setelah pengobatan pertama dan 20% pada 30 tahun setelahnya
dengan gambaran perubahan pleomorphic adenoma menjadi suatu squamous cell
carcinoma dalam 19 tahun setelah dilakukannya tindakan operasi.3,15,16
DAFTAR PUSTAKA
1. Riordan-Eva
P, Whitcher JP. 2010. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta:
EGC.
2. Binatli O,
Yaman O, Ozdemir N, Erdogan IG. Pleomorphic Adenoma of Lacrimal Gland, a case
report. JSCR. 2013;10: 1-4.
3. Iyeyasu JN,
Reis F, Altemani AM, Carvalho KM. An Unususal Presentation of Lacrimal Gland
Pleomorphic Adenoma. Rev Bras Oftalmol.2013;72 (5):339-340
4. Galloway NR,
Amoaku WMK, Galloway PH, Browning AC. 2006.Common Eye Diseases and Their
Management. 3rd ed. London: Springer. 127-128
5. Ilyas S.
2008. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ke-3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
6. American
Academy of Ophthalmology. 2014.Opthalmic Pathology and Intraocular Tumor,
Section 4, Orbit, Eyelids and Lacrimal System, section 7. San Francisco: AAO
7. Jogi R. 2009.
Basic Ophthalmology. 4th Ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher.
424-427
8. Trattler W,
Kaiser PK, Friedman NJ. 2012. Review of Ophthalmology. 2nd Ed. San Francisco:
Elsevier.166-168
9. DeAngelis DD.
2015. Lacrimal Gland Tumor. Available at: http://reference.medscape.com/article/1210619-overview.com
[accessed in 14th November 2015]
10. Kanski J.
2015. Kanski’s Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. 8th Ed.
Australia: Elsevier. 103-106
11. Riordan-Eva
P, Whitcher JP. 2008. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 17th Ed.
USA: The McGraww-Hill Companies.
12. Yanoff M,
Duker JS. 2014. Ophthalmology. 4th Ed. USA: Elsevier,1297- 1299
13. Olver J,
Cassidy L. 2005. Ophthalmology at a Glance. USA: Blackwell Science. 58-60
14. Said MS.
2013. Pathology of Carcinoma Ex Pleomorphic Adenoma. http://emedicine.medscape.com/article/1652374-overview.com
[accessed in: 14th November 2015]
15. Vander JF,
Gault JA. Ophthalmology Secrets in Colour, 3rd edition. USA: Molby
Elsevier,432-433
16. Tsai JC,
Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. 2011. Oxford American Handbook of
Ophthalmology. China: Oxford University Press, 487-488
17. Riordan-Eva
P, Whitcher JP. Lids, Lacrimal Apparatus, and Tears. In : Vaughan DG, Asbury T,
Riodan-Eva P. General Ophthalmology. 14th Ed. New York : Mc.Graw Hill; 2004 :
92-98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar