Jumat, 20 Januari 2017

blepharophimosis ptosis epicanthus inversus syndrome



BAB I
PENDAHULUAN

Kelopak mata yang disebut juga palpebra merupakan lipatan kulit yang terdapat dua buah untuk tiap mata. Kelopak mata dapat digerakkan untuk menutup mata, dengan ini melindungi bola mata terhadap trauma dari luar yang bersifat fisik atau kimiawi serta membantu membasahi kornea dengan air mata pada saat berkedip. Dalam keadaan terbuka, kelopak mata memberi jalan masuk sinar ke dalam bola mata yang dibutuhkan untuk penglihatan. Membuka dan menutupnya kelopak mata dilakukan oleh otot-otot tertentu dengan persarafannya masing-masing.1
Sindroma blefarofimosis adalah suatu penyakit yang mengenai kedua mata dan diturunkan secara autosomal dominan dengan kumpulan tanda klinis berupa blefarofimosis, ptosis berat, epikantus inversus, dan telekantus.2,3 Karena terjadi kelainan pada kelopak mata dimana kelopak mata tidak dapat membuka sepenuhnya, visus bisa menjadi terbatas. Sindroma blefarofimosis meningkatkan resiko terjadinya permasalahan dalam perkembangan visus seperti miopia atau hiperopia. Hal ini juga dapat mengakibatkan terjadinya strabismus dan ambliopia yang dapat mengenai satu ataupun kedua mata.4
            Angka kejadian sindroma blefarofimosis sampai saat ini belum diketahui.4 Namun, ada yang melaporkan angka kejadiannya berkisar antara 11-50 per 100.000 kelahiran.5 Sindroma blefarofimosis mempunyai dua tipe. Tipe I terdiri dari empat manifestasi klinis utama berupa blefarofimosis, ptosis, epikantus inversus, dan telekantus, ditambah dengan kegagalan ovarium prematur. Kegagalan ovarium prematur menyebabkan periode menstruasi seorang wanita frekuensinya menjadi lebih kurang dan akhirnya berhenti sebelum usia 40 tahun. Kegagalan ovarium prematur dapat menyebabkan kesulitan untuk hamil (subfertilitas) atau tidak bisa hamil (infertilitas).4,5 Tipe II hanya terdiri dari empat manifestasi klinis dari kelainan kelopak mata.4
            Dalam referat ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai sindroma blefarofimosis, etiologi, penegakan diagnosis, dan penatalaksanaannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1       Anatomi Palpebra
Struktur mata yang berfungsi sebagai proteksi lini pertama adalah palpebra. Fungsinya adalah melindungi bola mata,  mencegah benda asing masuk, membersihkan permukaan mata dengan dari kotoran dan iritasi lain dengan berkedip, serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan kornea dan juga membantu proses lubrikasi permukaan kornea.6
Pembukaan dan penutupan palpebra diperantarai oleh muskulus orbikularis okuli dan muskulus levator palpebra. Muskulus orbikularis okuli pada kelopak mata atas dan bawah mampu mempertemukan kedua kelopak mata secara tepat pada saat menutup mata. Pada saat membuka mata, terjadi relaksasi dari muskulus orbikularis okuli dan kontraksi dari muskulus levator palpebra di palpebra superior. Otot polos pada palpebra superior atau muskulus palpebra superior (Müller muscle) juga berfungsi dalam memperlebar pembukaan dari kelopak tersebut. Sedangkan, palpebra inferior tidak memiliki muskulus levator sehingga muskulus yang ada hanya berfungsi secara aktif ketika memandang kebawah. Selanjutnya adalah lapisan superfisial dari palpebra yang terdiri dari kulit, kelenjar Moll dan Zeis, muskulus orbikularis okuli dan levator palpebra. Lapisan dalam terdiri dari lapisan tarsal, muskulus tarsalis, konjungtiva palpebralis dan kelenjar meibom.7

2.1.1.   Kulit
Palpebra memiliki kulit yang tipis ± 1 mm dan tidak memiliki lemak subkutan. Kulit disini sangat halus dan mempunyai rambut vellus halus dengan kelenjar sebaseanya, juga terdapat sejumlah kelenjar keringat.8

2.1.2    Orbikularis
            Muskulus orbikularis okuli melekat pada pada kulit. Permukaan dalamnya disarafi nervus facialis (VII), dan fungsinya adalah untuk menutup palpebra. Otot ini terbagi dalam bagian orbital, praseptal, dan pratarsal. Bagian orbita, yang terutama berfungsi untuk menutup mata kuat, adalah otot melingkar tanpa insertio temporal. Otot praseptal dan pratarsal memiliki kaput medial superfisial dan profundus, yang turut serta dalam pemompaan air mata.9,10

2.1.3.   Septum
Septum orbita merupakan jaringan fibrosa yang berasal dari periostium yang berada di depan rima orbita bagian superior dan inferior. Pada palpebra superior, septum orbita menyatu dengan levator aponeurosis lebih kurang 1-3 mm superior tarsus bukan pada orang etnis Asia. Lemak orbita terdapat di belakang septum orbita dalam rongga preaponeurotik.11,12
Fasia yang membatasi m.orbikularis okuli disebelah posterior, merupakan pagar antara palpebra dan orbita sehingga jika terjadi radang di palpebra tidak dapat masuk ke orbita. Pinggir dari palpebra, disebut margo palpebra, yang ke medial membentuk kantus internus dan yang ke lateral membentuk kantus eksternus. Kantus internus bentuknya tumpul sedangkan kantus eksternus bentuknya lancip.6
            Di bagian depan dari margo palpebra, terdapat silia (bulu mata) 2-3 jajar yang pendek dan melengkung ke luar. Akarnya terdapat didalam jaringan otot. Di margo palpebra dekat kantus internus, terdapat tonjolan yang disebut papila lakrimal yang ditengahnya terdapat punctum lakrimal. Lapisan paling belakang dari palpebra dibentuk oleh konjungtiva palpebra dan foniks yang berlipat-lipat.6,8,11

2.1.4.   Tarsus
            Tarsus adalah lempeng fibrosa kaku, yang dihubungkan pada tepian orbita oleh tendo-tenso kantus medialis dan lateralis. Terdiri dari jaringan yang rapat ddengan sedikit jaringan elastis. Gunanya untuk memberi  bentuk pada palpebra. Tarsus superior lebih besar dari tarsus inferior. Didalamnya terdapat kurang lebih 20 glandula sebasea meiboom, yang tampak membayang sebagai garis-garis yang kekuning-kuningan berjajaran dibawah konjungtiva dan mengeluarkan isinya di margo palpebra yang tampak sebagai bintik-bintik halus. Guna dari isi glandula meiboom adalah untuk menutup rapat margo palpebra superior dan inferior pada waktu mengedip, sehingga air mata tidak dapat meleleh ke pipi. Di medial dan lateral, tarsus bersatu membentuk ligamentum tarsalis medialis dan ligamentum tarsalis lateralis, yang melekat pada pinggir orbita.6,8,11

2.1.5.   Levator
Di bawah lemak terdapat kompleks muskulus levator-retraktor utama palpebra superior-dan padanannya, fascia capsulopalpebrae di palpebra inferior. Muskulus berorigo di apeks orbita. Saat memasuki palpebra, otot ini membentuk aponeurosis yang melekat pada sepertiga bawah tarsus superior. Pada palpebra inferior, fascia capsulo palpebralis berasal dari muskulus rektus inferior dan berinsertio pada batas bawah tarsus. Ini berfungsi menarik palpebra inferior saat melihat ke bawah. Muskulus tarsalis inferior membentuk lapisan berikut, yang melekat pada konjungtiva. Otot simpatis ini menarik palpebra. Konjuingtiva melapisi permukaan dalam palpebra. Konjungtiva palpebra menyatu dengan konjungtiva yang berasala dari bola mata dan mengandung kelenjar-kelenjar yang penting dalam pelumasan kornea.6,9,10

2.1.6.   Pembuluh Darah
Pembuluh darah di palpebra befungsi untuk membantu penyembuhan luka dan mencegah infeksi. Arteri disini berasal dari 2 pembuluh darah besar, yaitu arteri karotis interna yang merupakan pembuluh darah di daerah mata dan bercabang di supraorbita dan lakrimal, dan arteri karotis eksterna yang merupakan pembuluh darah di wajah yang bercabang di angular dan temporal. Sirkulasi kolateral antara dua sistem pembuluh darah ini beranastomose melewati palpebra superior dan inferior membentuk arcade marginal dan kolateral.8,9,10,12
Pembuluh darah vena pada palpebra ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu pretarsal dan posttarsal. Pada pretarsal bercabang menjadi vena angularis dari medial dan vena temporalis superfisial dari lateral. Sedangkan pada posttarsal bercabang menjadi vena orbitalis dan vena fasialis anterior, serta pleksus pterigoid.6,11
2.1.7.   Persarafan
            Saraf  sensori di daerah palpebra dipersarafi oleh cabang pertama dan kedua saraf V. Cabang saraf pertama yaitu supraorbita (V1) berinervasi di dahi dan regio periokular lateral. Cabang saraf kedua yaitu maksilari (V2) berinervasi di kelopak mata bawat dak pipi. Sedangkan saraf motornya adalah saraf ke III, VII, dan saraf simpatis.6,11

2.2       Sindroma Blefarofimosis
2.2.1.        Definisi
Sindroma blefarofimosis adalah suatu penyakit yang mengenai kedua mata dan diturunkan secara autosomal dominan dengan kumpulan tanda klinis berupa blefarofimosis, ptosis berat, epikantus inversus, dan telekantus. Sindroma ini diperkenalkan pertama kali oleh Kohn dan Romano (1971). Atas jasanya, sindrom ini disebut juga sindroma Kohn Romano.2,3

2.2.2.        Epidemiologi
Prevalensi sindroma blefarofimosis tidak diketahui. Jenis kelamin, ras, dan etnik tidak mempengaruhi angka kejadian penyakit ini.13

2.2.3.        Etiologi
Sindroma blefarofimosis merupakan penyakit autosomal dominan yang dikaitkan dengan mutasi dominan yang diwariskan dalam gen FOXL2 pada kromosom 3q23. Gen ini diekspresikan terutama dalam perkembangan kelopak mata dan ovarium. Hampir 75% pasien dengan sindroma blefarofimosis mempunyai hubungan dimana terdapat mutasi dari gen FOXL2; sisanya, yaitu 25% mewakili mutasi baru atau ekspresi ringan dari generasi sebelumnya.13
Sebuah studi terhadap sepuluh individu dengan mutasi gen FOXL2 dengan hasil yang menunjukkan adanya perubahan lateral dari pungtum inferior yang mengakibatkan perubahan struktur temporal dari kelopak mata bagian bawah. Hal ini merupakan suatu tanda penting dalam mendiagnosis sindroma blefarofimosis.14
Studi lain menyebutkan adanya penyusunan kembali sitogenetik dari kromosom 3q23 dimana terjadi ketidakseimbangan translokasi dan delesi interstisial yang sering disertai adanya manifestasi klinis tambahan seperti mikrosefali, ketidakmampuan intelektual, dan keterlambatan pertumbuhan. Namun, bila terjadi keseimbangan translokasi 3q23, maka akan menghasilkan sindroma blefarofimosis tanpa manifestasi klinis tambahan.13

2.2.4.        Gambaran Klinis2,3,13
Selain terdapat empat tanda utama dari sindroma blefarofimosis, yaitu blefarofimosis, ptosis berat, epikantus inversus, dan telekantus, beberapa tanda yang mungkin dijumpai adalah lateral lower eyelid ectropion, yang terjadi sekunder akibat defisiensi lamella anterior kelopak mata bawah, nasal bridge yang tidak berkembang, hipoplasia rima orbita bagian superior, lop ears, dan hipertolerisme. Manifestasi klinis lain yang dapat ditemukan pada sindroma blefarofimosis antara lain kelainan duktus lakrimal, ambliopia, strabismus, dan kesalahan refraksi.
Adapun dua tipe dari sindrom blefarofimosis, yaitu:
Ø  Tipe I : terdiri dari empat manifestasi utama yaitu blefarofimosis, ptosis, epikantus inversus dan telekantus dan disertai adanya infertilitas pada perempuan yang disebabkan oleh kegagalan ovarium prematur.
Ø  Tipe II      : hanya terdiri dari dari empat manifestasi utama yaitu blefarofimosis, ptosis, epikantus inversus dan telekantus. Tipe ini ditandai oleh adanya penetrasi dan transmisi yang tidak sempurna oleh laki-laki dan perempuan.

2.2.5.        Diagnosis Banding13
Diagnosis banding sindroma blefarofimosis mencakup kondisi dimana ptosis atau blefarofimosis menjadi manifestasi klinis utama. Walau bagaimanapun dalam prakteknya, pada kebanyakan kasus sindrom blefarofimosis dengan mudah dapat didiagnosis.

Tabel 1. Diagnosis banding sindroma blefarofimosis
Sindroma                                     Diwariskan                    Karakteristik
Hereditary congenital                         AD                              Ptosis
ptosis 1 (PTOS1)
Hereditary congenital                         XL                               Ptosis
ptosis 2 (PTOS2)
Ohdo blepharophimosis                     AD                       Blefarofimosis
Syndrome                                                                        Blefaroptosis
                                                                     Ketidakmampuan intelektual
                                                                     Defek jantung kongenital
                                                                     Hipoplasia gigi
Michels syndrome                               AD                       Blefarofimosis
                                                                                        Blefaroptosis
                                                                                        Epikantus inversus
                                                                                        Defek segmen anterior (kornea)
                                                                                        Cleft lip/palate
                                                                                        Abnormalitas tulang minor
Ptosis dengan                                                                  Ptosis
eksternal oftalmoplegia                      AR                       Oftalmoplegia
                                                                                        Miosis
                                                                                        Penurunan akomodasi
                                                                                        Strabismus
                                                                                        Ambliopia
Sindroma Noonan                              AD                       Ptosis
                                                                                        Perawakan pendek
                                                                                        Defek jantung
                                                                                        Defisiensi faktor pembekuan darah
Sindroma Marden-Walker                  AR                       Ptosis
                                                                                        Blefarofimosis
                                                                                        Retardasi pertumbuhan
                                                                                        Defek neurologis
Sindroma Schwartz-Jampel                AR                       Ptosis intermiten
                                                                                        Blefarofimosis
                                                                                        Telekantus
                                                                                        Katarak
                                                                                        Perawakan pendek
                                                                                        Kelainan tulang dan kartilago
                                                                                        Hipertrofi otot
Sindroma Dubowitz                           AR                       Ptosis
                                                                                        Blefarofimosis
                                                                                        Telekantus lateral
                                                                                        Perawakan pendek
                                                                                        Ketidakmampuan intelektual
                                                                                        Defisiensi imunologi
Sindroma Smith-Lemli-Opitz             AR                       Ptosis
                                                                                        Epikantus
                                                                                        Katarak       
                                                                                        Severe genitourinary, cardiac,
                                                                                         and gastrointestinal anomalies
catatan:
XL = X-linked
2.2.6.        Penegakan Diagnosis113
Penegakan diagnosis sindrom blefarofimosis adalah dengan ditemukannya empat manifestasi klinis berupa blefarofimosis, ptosis, epikantus inversus, dan telekantus yang muncul saat lahir.
Ø  Blefarofimosis15
Blefarofimosis adalah kondisi dimana terjadi penyempitan celah horizontal dari kelopak mata. Pada orang dewasa, normalnya, ukuran fissura palpebra horizontal 25-30 mm. Pada individu dengan sindrom blefarofimosis, ukuran fisura palpebra horizontalnya hanya 20-22 mm.

Ø  Ptosis
Ptosis adalah suatu keadaan dimana kelopak mata atas (palpebra superior) turun di bawah posisi normal saat membuka mata yang dapat terjadi unilateral atau bilateral. Kelopak mata yang turun akan menutupi sebagian pupil sehingga penderita mengkompensasi keadaan tersebut dengan cara menaikkan alis matanya atau menghiperekstensikan kepalanya. Normalnya kelopak mata terbuka adalah 10 mm. Ptosis biasanya mengindikasikan  lemahnya fungsi dari otot levator palpebra superior ( otot kelopak mata atas ).  Rata – rata lebar fisura palpebra / celah kelopak mata pada posisi tengah adalah berkisar 11 mm, panjang fisura palpebra berkisar 28 mm. Batas kelopak mata atas biasanya  menutupi  2 mm kornea bagian atas, sehingga batas kelopak mata atas di posisi tengah seharusnya 4 mm diatas refleks cahaya pada kornea.
Pemeriksaan fisik pada pasien ptosis dimulai dengan empat pemeriksaan klinik :17
1.      Palpebra Fissure Height
Jarak ini diukur pada posisi celah terlebar antara kelopak bawah dan kelopak atas pada saat pasien melihat benda jauh dengan pandangan primer.
Fissura pada palpebra diukur pada posisi utama (orang dewasa biasanya 10-12 mm dengan kelopak mata teratas menutup 1 mm dari limbus). Jika ptosis unilateral, pemeriksa harus membedakan dengan artifak strabismus vertikal (hipotropia) atau retraksi kelopak mata kontralateral. Kelopak mata harus dieversi untuk menyingkirkan penyebab lokal ptosis misalnya konjungtivitis papilar raksasa. Jika ptosis asimetris, khususnya bila kelopak mata atas mengalami retraksi – dokter harus secara manual mengangkat kelopak yang ptosis untuk melihat jika terjadi jatuhnya kelopak atas pada mata lain.
2.      Margin-reflex distance
Jarak ini merupakan jarak tepi kelopak mata dengan reflek cahaya kornea pada posisi primer, normalnya ± 4 mm. Refleks cahaya dapat terhalang pada kelopak mata pada kasus ptosis berat dimana nilainya nol atau negatif. Bila pasien mengeluh terganggu pada saat membaca maka jarak refleks-tepi juga harus diperiksa.
3.      Upper lid crease
Jarak dari lipatan kelopak atas dengan tepi kelopak diukur. Lipatan kelopak atas sering dangkal atau tidak ada pada pasien dengan ptosis kongenital. 
4.      Levator function
Untuk mengevaluasi fungsi otot levator, pemeriksa mengukur penyimpangan total tepi kelopak mata, dari penglihatan ke bawah dan ke atas, sambil menekan dengan kuat pada alis mata pasien untuk mencegah kerja otot frontalis. Penyimpangan normal kelopak atas adalah 14-16 mm. Sebagai tambahan, jarak refleks kornea - kelopak mata dan jarak tepi kelopak atas-lipatan kelopak atas diukur. 
5.      Bells Phenomenon
Penderita disuruh menutup/memejamkan mata dengan kuat, pemeriksa membuka kelopak mata atas, kalau bola mata bergulir ke atas berarti Bells Phenomenon (+).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3EGJTdowBl2QMBx0S2aSgb_h7CA0IH7d2cRq4xo7w52xU-VhK0dpVZGu15g1NBgwrUcEUXjZHMrjj_WBvTSzzOXClLlqfw1hmSCWibImCYhvpIJYQwvhWzjHi5nxnsLsVGImhWPWNLvAR/s320/New+Picture+%25283%2529.png
Palpebra Fissure Height
9,5
7,5
Margin-Reflex Distance
+4
+2
Upper Lid Crease
8
11
Levator Function
15
14
Example of ptosis data sheet18

Berdasarkan jarak jatuhnya palpebra superior, ptosis diklasifikasikan atas 3 derajat :19
Amount Ptosis
Classification
less than or equal to 2mm
Mild
3mm
Moderate
greater than or equal to 4mm
Severe

Ø  Epikantus inversus9
Epikantus ditandai dengan lipatan vertical kulit di atas kantus medialis. Ini khas pada orang Asia dan ada, dalam batas tertentu, pada kebanyakan anak dari semua ras. Lipatan kulit tersebut sering cukup besar hingga menutupi sebagian sclera nasalis dan menimbulkan “pseudoesotropia”. Mata tampak juling bila aspek medial sclera tidak terlihat. Jenis paling banyak adalah epikantus tarsalis, yaitu lipat palpebra superior menyatu di medial dengan lipat epikantus. Pada epikantus inversus, yang merupakan salah satu manifestasi dari sindroma blefarofimosis, lipatan kulitnya menyatu dengan palpebra inferior. Penyebab epikantus adalah pemendekan vertical kulit diantara kantus dan hidung. Koreksi bedah diarahkan pada pemanjangan vertical dan pemendekan horizontal. Pada anak normal, lipatan epikantus menghilang secara bertahap hingga pubertas, dan jarang memerlukan pembedahan.

Ø  Telekantus9
Telekantus adalah pergeseran lateral dari kantus bagian dalam dengan jarak antara kedua pupil normal. Jarak normal antara kantus medialis kedua mata atau jarak interkantus sama dengan panjang fissura palpebra (kira-kira 30 mm pada orang dewasa). Jarak interkantus yang lebar bias terjadi akibat disinsersi traumatic atau disgenesis kraniofasial congenital. Telekantus ringan (missal pada sindroma blefarofimosis) dapat dikoreksi dengan operasi kulit dan jaringan lunak. Namun, diperlukan rekonstruksi kraniofasial besar bila orbita terpisah jauh, seperti pada penyakit Crouzon.

2.2.7.        Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sindroma blefarofimosis memerlukan koordinasi beberapa ahli, termasuk ahli genetika klinis, dokter spesialis mata anak, dokter bedah okuloplastik, ahli endokrin, dan gyneecologist. Waktu yang tepat untuk operasi kelopak mata masih kontroversial. Hal ini mempertimbangkan berbagai alasan diantaranya operasi awal untuk mencegah terjadinya ambliopia dan operasi yang terlambat untuk memungkinkan pengukuran ptosis lebih dapat diandalkan.13
 Operasi awal diperlukan untuk ptosis yang parah dan ambliogenik. Perbaikan kantus biasanya ditangani setelah ptosis. Meskipun ada beberapa pendapat yang memperbaiki kantus terlebih dahulu.13
Tindakan rekonstruksi dapat dilakukan satu tahap, namun beberapa ahli bedah lebih menyukai dilakukan dalam 2 tahap. Pertama, telekantus dan epikantus dikoreksi dengan double Z-plasty dari Mustarde, Y-V-plasty multiple, atau prosedur dari Roveda. Kadang-kadang dikombinasi dengan wiring transnasal pada tendon kantus medial. Jaringan ikat subkutan yang berjalan di bawah lipatan epikantus juga diambil. Hal ini akan membuat terbentuknya flap yang datar.2
Setelah 3-4 bulan, dilakukan suspensi frontal bilateral untuk mengkoreksi ptosisnya. Sebagai tambahan dapat dilakukan tindakan rekonstruksi lainnya bila terdapat ektropion dan hipoplasia orbital rim superior.2
Bila terdapat hipertolerisme (yaitu jarak tulang orbit yang panjang, ditandai dengan jarak antar pupil yang lebar dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan radiografi) dilakukan tindakan operatif tulang orbita sebelum dilakukan rekonstruksi.2

















 
  
BAB III
KESIMPULAN

Sindroma blefarofimosis adalah suatu penyakit yang mengenai kedua mata dan diturunkan secara autosomal dominan dengan kumpulan tanda klinis berupa blefarofimosis, ptosis berat, epikantus inversus, dan telekantus. Sindroma blefarofimosis mempunyai 2 tipe. Sindroma blefarofimosis tipe I terdiri dari empat manifestasi klinis utama dan adanya kegagalan ovarium prematur. Sindroma blefarofimosis tipe II hanya terdiri dari empat manifestasi klinis utama yaitu blefarofimosis, ptosis berat, epikantus inversus, dan telekantus. Manifestasi klinis lain yang mengenai mata yang berhubungan dengan sindroma blefarofimosis antara lain kelainan duktus lakrimalis, ambliopia, strabismus, dan kesalahan refraksi.
Diagnosis sindroma blefarofimosis adalah dengan ditemukannya empat manifestasi klinis berupa blefarofimosis, ptosis, epikantus inversus, dan telekantus yang muncul saat lahir. Individu dengan sindroma blefarofimosis mempunyai penyusunan kembali sitogenetik seperti delesi interstisial dan translokasi dari kromosom 3q23. Pemeriksaan genetik molekular dari gen FOXL2, satu-satunya gen yang baru-baru ini diketahui mempunyai hubungan dengan sindroma blefarofimosis, diakui secara klinis.
Penatalaksanaan sindroma blefarofimosis meliputi penatalaksanaan terhadap manifestasi klinis yang didapatkan. Waktu yang tepat untuk melakukan operasi masih kontroversial yang bergantung pada kondisi penderita. Tindakan rekonstruksi dapat dilakukan satu tahap, namun beberapa ahli bedah lebih menyukai dilakukan dalam 2 tahap. Pertama, telekantus dan epikantus dikoreksi dengan double Z-plasty dari Mustarde, Y-V-plasty multiple, atau prosedur dari Roveda. Setelah 3-4 bulan, dilakukan suspensi frontal bilateral untuk mengkoreksi ptosisnya. Sebagai tambahan dapat dilakukan tindakan rekonstruksi lainnya bila terdapat ektropion dan hipoplasia orbital rim superior.



DAFTAR PUSTAKA

1.      Ilyas, Sidharta (ed). Kelopak Mata. Dalam Ilmu Penyakit Mata. Edisi 2. Sagung Seto. Jakarta. 2002; hal : 57,73-5
2.      Kersten RC, Codere F, Dailey RA, et al 2005. BCSC 2005-2006. Section 7 Orbit, eyelids and lacrimal system. San Fransisco: The Foundation of the American Academy of  Ophtalmology:153-154.
3.      Steward WB. 1993. Ophtalmology monographs: Surgery of eyelid, orbit, and lacrimal system volume 1. San Fransisco. The Foundation of the American Academy of  Ophtalmology:112-116.
4.      Blepharophimosis, ptosis, and epicanthus inversus syndrome. Genetics home reference. Available at http://ghr.nlm.nih.gov/condition/blepharophimosis-ptosis-and-epicanthus-inversus-syndrome , diakses tanggal 11 Maret 2013.
5.      Blepharophimosis, ptosis, and epicanthus inversus syndrome type 1. Diunduh dari http://rarediseases.info.nih.gov/GARD/Condition/23/Blepharophimosis_ptosis_and_epicanthus_inversus_syndrome_type_1.aspx#ref_796 , diakses tanggal 11 Maret 2013.
6.    Ilyas, Sidarta. 2009. Ilmu Penyakit Mata. ed.3. Sagung Seto: Jakarta
7.      Wagner, JP. 2006.Anatomi Fisiologi Air Mata. Dalam: Suyono, Y. Joko (ed).Oftalmologi Umum edisi 14. Jakarta: Widya Medika,94.
8.      Koswandi, Arthur. 2002. Mata. Histologi. Jilid 4. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin: Ujung Pandang. hal : 126-7.
9.      Vaughan, Daniel. 2000. Blepharoptosis. Dalam Oftalmologi Umum. Edisi 14. Widya Medika: Jakarta. hal : 81,86-87.
10.  Bartiss, Michael J,Department of Ophthalmology, University of Nebraska Medical Center. Diunduh dari http://www.emedicine.com/ ph/topic345 diakses tanggal 10 Maret 2013.
11.  TJ., Lisegang, GL., Skuta. 2005-2006. Orbit, eyelids, and lacrimal. Jilid 7. American academy of ophthalmology: USA. hal: 147,208-219.
12.  JJ., Kansky. 2005. Eyelid Ptosis. Clinical Ophthalmology of Systemic Approach. Edisi 6. Butterwrth-Heineman Elsevier: Inggris. hal: 133-142.
13.  Elfride De Baere, MD, PhD. 2009. Blepharophimosis, Ptosis, and Epicanthus Inversus. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK1441/ , diakses tanggal 11 Maret 2013.
14.  Decock CE, Claerhout I, dkk. 2011. Correction of the lower eyelid malpositioning in the blepharophimosis-ptosis-epicanthus inversus syndrome. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21562436 , diakses tanggal 11 maret 2013.
15.  American academy of ophthalmology
16.  Suh, Donny Wun. Ptosis, Congenital. Editor(s) : Michael J Bartiss, Donald S Fong, Mark T Duffy, Lance L Brown, Hampton Roy. Department of Ophthalmology, University of Nebraska Medical Center. Available at http://www.emedicine.com/ ph/topic345.  Last update : November 13, 2003.
17.  Newman, Steven A. The Patient With Eyelid or Facial Abnormalities. DalamBasic And Clinical Science Course-Neuro Opthalmology. Bagian 5. The Foundation Of The American Academy Of Ophthalmology. San Fransisco. 2001; hal : 263.
18.  Newman, Steven A. Eyelid Malposition and Involutional Changes. Dalam Basic And Clinical Science Course-Orbit, Eyelids, and Lacrimal System.Bagian 7. The Foundation Of The Academy Of Oftalmology, San Fransisco, 2001, hal : 190,191,200 dan 204
19.  Bermant, Michael. Measuring Eyelid Function and Ptosis (drooping upper eyelid). American Board of Plastic Surgery. Available athttp://www.plasticsurgery4u.com/procedure_folder/eyelid_recon_folder/eyelid_function.html. Last update : Januari 8, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar