Rabu, 22 April 2015

OCCULAR IMMUNOLOGY



IMUNOLOGI PADA MATA

I. PENDAHULUAN
 Imunologi adalah cabang ilmu biomedis luas yang meliputi studi tentang semua aspek sistem kekebalan pada semua organisme yang berkaitan dengan fungsi fisiologis sistem kekebalan tubuh dalam keadaan sehat dan sakit, malfungsi dari sistem kekebalan pada gangguan imunologi (penyakit autoimun, hipersensitivitas, defisiensi imun, penolakan transplantasi), kimia, fisik dan fisiologis karakteristik komponen dari sistem kekebalan tubuh in vitro, in situ, dan in vivo. 1
              Imunitas adalah suatu  resistensi terhadap penyakit, terutama penyakit infeksi. Imunitas atau kekebalan adalah sebuah mekanisme biologis perlindungan tubuh yang alami pada organisme terhadap pengaruh dari luar dengan cara mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Fungsi utama dari sistem imun adalah melindungi organisme dari infeksi. Sistem ini dapat mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis dari luar seperti virus, parasit,  dan bakteri kemudian menghancurkan dan memusnahkan mereka dari sel dan jaringan yang sehat agar tetap dapat berfungsi sebagaimana mestinya.2, 3
              Sistem imun adalah Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respon imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Peran utama dari sistem imun ialah untuk melindungi sel pejamu (host) dari substansi asing yang berbahaya, mikroorganisme, toksin-toksin serta sel-sel tumor. Mikroba dapat hidup ekstraseluler, melepas enzim dan menggunakan makanan yang banyak mengandung gizi yang diperlukannya. Mikroba lain menginfeksi sel pejamu dan berkembang biak intraseluler dengan menggunakan sumber energi sel pejamu. Baik mikroba ekstraseluler maupun intraseluler dapat menginfeksi subyek lain, menimbulkan penyakit dan kematian, tetapi banyak juga yang tidak berbahaya bahkan berguna untuk pejamu. 4, 5, 6
      Dalam menjalankan fungsinya, sistem imun ini didesain sedemikian mungkin, agar dalam menghancurkan benda asing, sistem imun dapat mengenali sel pejamu sehingga tidak merusaknya dan menghindari kerusakan yang lebih parah daripada sel pejamu yang telah terinfeksi. Kerja dari sistem imun ini terhadap benda asing yang berbahaya dengan cara antara lain menghancurkan, menelan ataupun menyerang sel pejamu itu sendiri jika dikenali sebagai suatu benda asing (penyakit autoimun). Namun ada keadaan dimana sistem imun menjadi tidak responsif yang ditandai oleh kegagalan untuk membentuk antibodi atau mengembangkan respon seluler setelah terpajan dengan suatu benda asing. Keadaan ini disebut toleransi imun. Toleransi imun ini merupakan imunosupresi dan hanya terhadap satu antigen tertentu dan tidak disertai oleh gangguan terhadap respon antigen yang lain. Penyakit autoimun disebabkan oleh hilangnya self-toleransi tubuh. Toleransi tidak diinginkan terhadap suatu infeksi, namun sangat diperlukan pada transplantasi. 4, 6
Pada sari pustaka ini, akan dipaparkan secara singkat mengenai sistem imun yang terjadi pada mata, dimana sebagai pengantarnya akan dipaparkan mengenai dasar-dasar dari sistem imunologi.

II. DASAR-DASAR IMUNOLOGI
A.  ASAL DARI SEL-SEL SISTEM IMUN
Semua komponen padat dari darah, termasuk sel-sel yang menjadi penyusun sistem imun pada manusia, berasal dari hematopoetik stem sel pluripoten dari sumsum tulang. Dengan bantuan dari mediator-mediator terlarut seperti sitokin dan adanya kontak sinyal dengan sel stroma, sel stem progenitor ini dapat berkembang menjadi berbagai macam sel darah Sel-sel darah ini selanjutnya mempunyai kemampuan untuk memperbaharui diri sendiri, membelah tanpa harus berdiferensiasi, dan menghasilkan produksi sel hingga jumlah yang tak terbatas. Sebagai contoh, sumsum tulang memproduksi sel darah merah sebanyak 1,75x1011 perhari, sel darah putih sebanyak 7x1010  perhari, dimana jumlah ini dapat dilipatgandakan hingga beberapa kali tergantung kebutuhan dari tubuh. 6
            Pluripoten sel stem terdiri dari progenitor myeloid dan progenitor limfoid. Progenitor myeloid dapat berdiferensiasi menjadi megakariosit, eritroblast, mieloblast, monoblast dan sel dendrit. Megakariosit akan menjadi platelet, eritroblast akan menjadi eritosit, mieloblast akan menjadi basofil, eosinofil dan neutrofil. Sel terpenting dalam sistem imun adalah limfosit yang berasal dari progenitor limfoid.  Limfosit terdiri dari limfosit T yang berperan dalam respon imun seluler dan limfosit B yang berperan dalam respon imun humoral. Selain itu juga terdapat sel pembunuh alamiah / natural killer cells yang juga merupakan bagian dari sistem limfatik. Sel ini berhubungan erat dengan limfosit T, namun asal dari sel ini masih diperdebatkan hingga saat ini.     6
Disaat sel stem ini berada pada jaringan-jaringan tubuh tertentu, ia dapat merubah diri menjadi sel-sel khusus dari jaringan itu sendiri, seperti hepatosit, sel-sel neuron, sel-sel otot, dan sel-sel endotel. Mekanisme yang mengatur hal tersebut sampai saat ini belum begitu dapat dipastikan. Hal ini dikenal dengan sifat plastisitas dari sel stem. Sel stem hematopoetik ini bersirkulasi dalam jumlah yang kecil pada daerah perifer pembuluh darah. Secara morfologi ia tidak dapat dibedakan dengan sel limfosit kecil. 6
B.  RESPON IMUN
Pertahanan imun atau respon imun terdiri atas respon imun alamiah atau nonspesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired) Pembagian ini dimaksudkan hanya untuk memudahkan pengertian karena diantara kedua sistem tersebut terdapat kerjasama yang erat satu sama lain yang lain yang tidak dapat dipisahkan.3, 4, 5, 6
Pada sistem imun adaptif (spesific immunity) terdapat sistem dan struktur fungsi yang lebih kompleks dan beragam. Sistem imun adaptif memberikan respon yang lebih lambat namun memiliki ‘daya ingat’ yang tinggi terhadap paparan ulang patogen yang sama. Apabila tubuh terpapar dengan patogen yang sama maka reaksi yang terjadi akan muncul lebih cepat dari sebelumnya karena patogen yang sudah dikenali pada paparan sebelumnya. Sistem imun adaptif terdiri atas sub-sistem seluler, yaitu sel limfosit T (T helper dan T sitotoksik) dan sel mononuklear. Sub-sistem kedua yaitu sub-sistem humoral yang terdiri dari kelompok protein globulin terlarut (fasa cair), yaitu Immunoglobulin G, A, M, D, dan E. Immunoglobulin dihasilkan oleh sel limfosit B melalui proses aktivasi khusus yang bergantung pada karakteristik antigen yang dihadapi.     3, 6, 7
Mekanisme imunitas nonspesifik (sawar mekanis, fagosit, sel NK dan sistem komplemen) memberikan pertahanan terhadap infeksi. Imunitas spesifik (respons limfosit) timbul lebih lambat.
            Diantara perbedaan-perbedaan yang disebutkan, terdapat dua persamaan dari kedua sistem / respon imun ini. Yang pertama dalam hal aktivasi reseptor. Kedua respon imun ini menggunakan reseptor yang berada pada sel-sel darah putih untuk mengenali suatu stimulus serangan, namun tetap berbeda dalam hal pengenalan reseptor. Yang kedua, dalam hal respon inflamasi. Kedua respon ini dapat memicu suatu reaksi inflamasi, namun keduanya biasanya bekerja pada kadar subklinis, sehingga respon individu tidak menyadarinya. 5
1. Sistem Imun Nonspesifik
Sistem imun non spesifik dikatakan demikian, karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu,  terdapat sejak kita lahir dan merupakan pertahanan pertama tubuh terhadap masuknya zat-zat asing yang mengancam tubuh kita. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas terhadap bahan asing dan mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial. Sistem ini merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon langsung. 3, 4, 5, 6
                       Sistem imun inate terdapat pada air mata, air liur, keringat, bulu hidung, kulit, selaput lendir, laktoferin dan asam neuraminik (pada air susu ibu), sampai asam lambung. Sistem imun ini ditandai oleh respon yang cepat terhadap patogen namun tidak dapat mengingat patogen yang sama pada paparan ulang.  Elemen seluler dari sistem imun inate mengekpresikan reseptor yang dapat mengenali dan mengidentifikasi pathogen agar dapat dimusnahkan dengan cara fagositosis atau sitolisis. Makrofag dan neutrofil diaktifkan secara cepat oleh molekul mikroorganisme dan merupakan garis pertahanan pertama terhadap infeksi terutama dalam mengontrol infeksi bakteri dan jamur.3, 6
Di dalam cairan tubuh seperti air mata atau darah terdapat komponen sistem imun alamiah (innate/natural immunity) yang antara lain terdiri atas fasa cair seperti IgA (immunoglobulin A), Interferon, Komplemen, Lisozim, atau juga  CRP (C-Reactive Protein). Selain itu juga terdapat fasa selular yang terdiri atas sel-sel pemangsa (fagosit) seperti sel darah putih (PMN-Polimorfonuklear), sel-sel mononuklear (monosit dan makrofag) sel pembunuh alamiah (natural killer), dan sel-sel dendritik. Sistim imun inate berperan penting dalam aktifasi     sistim imun adaptif.3
Sistem imun non spesifik dibagi menjadi dua macam sistem pertahanan, yaitu :
a) Pertahanan fisikokimia(Physicochemical Barrier) : seperti kulit, silia, selaput lendir, batuk dan bersin merupakan pertahanan terdepan terhadap infeksi. Pertahanan biokimia diperankan oleh asam keringat dari kelenjar sebasea dan folikel rambut, berbagai asam lemak, lisozim dalam lapisan air mata. Mukus yang kental melindungi sel epitel mukosa, dapat menangkap bakteri dan bahan lainnya. 3, 4, 5, 6
b) Pertahanan humoral : diperankan antara lain oleh komplemen, interferon (IFN), CRP dan kolektin. 4, 7
1) Komplemen
Merupakan protein yang dapat teraktivasi langsung oleh bakteri ataupun teraktivasi oleh antibodi. Komplemen dengan spektrum aktivitas yang luas diproduksi dalam jumlah besar oleh hepatosit dan monosit. Beberapa fungsinya antara lain dapat menghancurkan secara langsung membran sel bakteri, dapat berfungsi sebagai faktor kemotaktik yang mengarahkan makrofag ke tempat adanya bakteri, dan komplemen dapat diikat pada permukaan bakteri yang memudahkan makrofag untuk mengenali bakteri tersebut dan memakannya (opsonisasi). Komplemen merupakan molekul larut dari sistem imun nonspesifik dalam keadaan tidak aktif, yang dapat diaktifkan oleh berbagai bahan seperti lipopolisakarida dari bakteri. Komplemen dapat juga berperan dalam sistem imun spesifik yang setiap waktu dapat diaktifkan kompleks imun. Hasil aktivasi tersebut menghasilkan berbagai mediator yang mempunyai sifat biologik aktif dan beberapa diantaranya merupakan enzim untuk reaksi berikutnya. Aktivasi komplemen merupakan usaha tubuh dalam proteksi, namun sering pula menimbulkan kerusakan jaringan sehingga merugikan tubuh sendiri. Ada 9 komponen dasar komplemen yaitu C1 sampai C9 yang bila diaktifkan, dipecah menjadi bagian-bagian yang besar dan kecil. Aktivasi komplemen menghasilkan sejumlah molekul efektor antara lain anafilatoksin, kemotaksin, adherens imun, opsonin dan Membrane Attack Complex (MAC) yang mempunyai efek biologik. C3 merupakan komplemen kunci dalam sistem komplemen. Sistem ini dapat diaktifkan melalui 3 jalur, yaitu jalur lektin, klasik dan alternatif : 3, 4, 5, 7, 8
-          Jalur lektin
Mannan Binding Lectin (MBL) adalah kolektin yang dapat diikat melalui bagian lektin hidrat arang kuman. Setelah MBL diikat kuman, MBL segera mengaktifkan C3. 4
-          Jalur klasik
aktivasi jalur ini dimulai dengan C1 yang dicetuskan oleh kompleks imun antibodi dan antigen (IgM dan IgG). IgM yang memilki sebanyak lima fragmen crystallizable (Fc) mudah diikat oleh C1. Meskipun C1 tidak memiliki sifat enzim, namun setelah berikatan dengan Fc dapat mengaktifkan C2 dan C4 yang selanjutnya mengaktifkan C3. Jalur ini melibatkan 9 komplemen protein utama yaitu C1-C9. Selama aktivasi, protein tersebut diaktifkan secara berurutan. Produk yang dihasilkan menjadi katalisator dalam reaksi berikutnya. Lipid A dari endotoksin, protease, kristal urat, polinukleotide, membran virus tertentu & C-Reactive Protein (CRP) dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik. 4
-          Jalur alternatif
 Jalur alternatif terjadi tanpa melalui tiga reaksi pertama (C1, C4 dan C2)  yang terdapat pada jalur klasik. Aktivasi jalur alternatif dimulai dengan C3 yang merupakan molekul yang tidak stabil dan terus menerus ada dalam aktivasi spontan derajat rendah dan klinis yang tak berarti. Bakteri, jamur, virus, parasit, zat kontras, agregat IgA, IgG dan faktor nefritik dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur ini. Aktivasi spontan C3 ini terjadi pada permukaan sel kuman. 1 Dengan aktivasi C3, kaskade komplemen berlanjut dengan cara yang mirip pada sistem klasik.3, 4, 5, 7, 8
Secara ringkas fungsi sistem komplemen adalah sebagai berikut :
  1. Opsonisasi : memudahkan makrofag mengenal bakteri dan “memakannya”
  2. Lisis/sitotoksisik : destruksi sel-sel melalui kerusakan membran plasma sel
  3. Kemotaksis (mengerahkan makrofag ke tempat bakteri)

2) Interferon
Interferon merupakan sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi makrofag yang  diaktifkan, natural killer cell dan berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus yang dilepas untuk merespon infeksi virus. IFN mempunyai sifat antivirus dan dapat menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus menjadi resisten terhadap virus. Interferon dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe I dan tipe II. Tipe I terdiri atas interferon alfa yang disekresi makrofag dan lekosit lain dan interferon beta disekresi fibroblas. Interferon tipe II adalah interferon gamma disekresi oleh sel T setelah dirangsang oleh antigen spesifik.     Protein fase akut merupakan protein plasma yang disintesis dan dilepas oleh hati jika terjadi stimulus infeksi oleh sitokin-sitokin tertentu seperti interleukin (IL), atau Tumor Necrotic Factor (TNF). Protein ini dapat meningkat sampai 1000 kali. Contoh dari protein fase akut ini yang utama yaitu C-Reactive Protein (CRP), dan Mannan Binding Lectin (MBL). Protein fase akut yang lain yaitu α1-antitripsin, amiloid serum A, haptoglobulin dan fibrinogen. 3, 4, 5, 6
3) C-Reactive Protein (CRP)
            CRP merupakan salah satu protein fase akut, termasuk golongan protein yang kadarnya meningkat pada infeksi akut sebagai respon imunitas non spesifik. CRP berperan dalam imunitas non spesifik yang dengan bantuan Ca ++ dapat mengikat berbagai molekul yang ditemukan pada permukaan bakteri/jamur  yang dapat mengaktifkan sistem komplemen(jalur klasik). 5, 7, 8
4) Kolektin
            Kolektin adalah protein yang berfungsi sebagai opsonin yang dapat mengikat karbohidrat pada permukaan mikroba. Kompleks yang terbentuk diikat reseptor fagosit untuk “dimakan”.5, 7, 8
c) Pertahanan selular :
1)  Fagosit
          Fagosit merupakan sel-sel darah putih yang berukuran besar yang bisa menelan dan mencernakan bahan-bahan asing. Meskipun dibagi ke dalam dua tipe utama yaitu neutrofil dan makrofag, keduanya membagi fungsi dan peran yang sama yaitu menelan mikroba.6
a. Neutrofil.
Sel ini disebut juga sebagai leukosit polimorfonuklear (PMN), oleh karena memilki karakteristik tersendiri yaitu nukleus multilobuler. Sel ini merupakan 70% dari jumlah lekosit dalam sirkulasi. Sitoplasma neutrofil memiliki granul-granul azurofilik primer (lisosom) yang mengandung hidrolase asam, mieloperoksidase dan neutronidase (lizosim) sedang granul sekunder mengandung laktoferin dan lizosim. Granul tersebut berperan dalam membunuh mikroba. Sel-sel ini bersirkulasi dalam darah dan bergerak masuk ke dalam jaringan dimana mereka dibutuhkan.6, 10
     b. Makrofag
              Merupakan sel yang besar dan memiliki nukleus yang berbentuk tapal kuda. Makrofag berasal dari sel-sel monosit yang bermigrasi ke jaringan yang kemudian berdiferensiasi/matur dan seterusnya hidup dalam jaringan tersebut. Sel-sel makrofag yang bertempat dan hidup di jaringan ini menyusun sistem fagositik mononuklear dimana mereka berfungsi sebagai sel-sel efektor penting pada imunitas non spesifik. Makrofag juga berperan sebagai sel penyaji antigen (Antigen Precenting Cell / APC) dalam sistem imun spesifik. Sel Kupffer adalah makrofag dalam hati, histiosit dalam jaringan ikat, makrofag alveolar di paru, sel glia di otak, dan sel Langerhans di kulit.6, 10

2) Sel NK (natural Killer Cell)
          Sel Natural Killer (sel NK) adalah golongan limfosit ketiga setelah sel T dan sel B, dikenal juga sebagai “Large Granular Lymphocytes”. Sel NK berfungsi dalam imunitas non spesifik terhadap virus dan sel tumor. Sel ini memiliki kemampuan untuk mengenal perubahan permukaan sel-sel yang terinfeksi atau sel-sel neoplastik, berikatan dengan sel-sel tersebut dan menyebabkan lisis. Destruksi dari sel-sel terinfeksi dicapai melalui pelepasan perforins dan granyzymes dari granula-granulanya yang menginduksi terjadinya apoptosis (programmed cell death).     6, 7
        3) Sel Mast dan Basofil
            Secara morfologis, sel mast dan basofil sangat mirip dimana keduanya mengandung granul-granul padat (elektron) dalam sitoplasmanya, bedanya sel mast ditemukan  hampir diseluruh pembuluh-pembuluh darah di jaringan ikat, mukosa dan permukaan epithelial, sedangkan basofil bertempat dalam sirkulasi darah perifer. Sel mast dan basofil memegang peranan penting dalam memperantarai reaksi hipersensitivitas tipe I (immediate hypersensitivity). Kedua sel ini merupakan alat dalam mengawali respon inflamasi akut. Degranulasi sel dicapai oleh ikatan antibody IgE dan antigen yang menghasilkan pelepasan mediator proinflamasi yang terdiri dari histamin  dan berbagai sitokin.     7, 11
        4) Sel Dendritik
            Sel-sel dendritik terdiri dari sel-sel Langerhans dan sel-sel interdigitating dan membentuk suatu jembatan yang penting antara imunitas non spesifik dan spesifik, sebagai sel-sel yang menyajikan peptida antigenik ke sel-sel T helper (imunitas adaptif). Oleh karenanya sel-sel ini dikenal sebagai sel penyaji antigen profesional (profesional antigen presenting cells / APCs). Sel-sel Langerhans sangat mobile, bermigrasi dari kulit ke kelenjar getah bening perifer dan terutama efektif menyajikan antigen ke sel-sel CD4.     7, 9
5) Eosinofil
Eosinofil merupakan granulosit yang memilki sifat dan kemampuan dalam fagosit. Walaupun berdasarkan fakta bahwa mereka hanya menyusun 2-5% dari total populasi leukosit, mereka merupakan alat perlawanan terhadap parasit-parasit yang terlalu besar untuk difagositosis. Granul-granul eosinofil mengandung sejumlah protein-protein dasar yang terdiri dari Major Basic Protein (MBP), Eosinofilik Cationic Protein (ECP), dan Eosinofilik Peroxidase (EPO). Setiap protein dasar ini bersifat toksik untuk parasit.     7, 8, 9          
Secara berkesinambungan dalam jalinan koordinasi yang harmonis, sistem imun, baik yang alamiah maupun adaptif, senantiasa bahu-membahu menjaga keselarasan interaksi antara sistem tubuh manusia dan media hidupnya (ekosistem). 3, 4, 5
2. Sistem Imun Spesifik
Disebut spesifik karena sistem tersebut hanya dapat menyingkirkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya. Benda asing yang sama, bila terpajan ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan. Sistem imun spesifik ini dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun nonspesifik. Sel yang berperan adalah sel limfosit (limfosit B dan T). Ada dua sistem imun spesifik tergantung lokasinya, yaitu humoral (dalam cairan tubuh) dan seluler (dalam sel). 3, 4, 5, 6

a. Sistem imun spesifik humoral

Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Sel B yang mengalami pematangan di sumsum tulang akan dilepas ke sirkulasi darah, disebut sebagai sel B naif. Pada membran sel B terdapat antigen - binding reseptor. Bila sel B dirangsang oleh benda asing, sel tersebut akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel B memori dan sel efektor yang disebut sel plasma. Ini dikenal sebagai respon primer. Sel B memori memiliki masa hidup yang lebih panjang dan membentuk membran-bound antibodi dengan sifat yang sama dengan sel induk. Sel plasma tidak membentuk membrane-bound antibodi, namun ia memproduksi antibodi yang bisa disekresikan. Sel-sel memori akan tinggal lama dan berespon jika dire-eksposure oleh antigen yang sama di waktu yang akan datang, yang disebut dengan respons sekunder.4, 7

b. Sistem imun spesifik seluler     

Pemeran utama dalam sistem imun spesifik seluler adalah limfosit T atau sel T. Tidak seperti sel B, diferensiasi dan proliferasi sel T terjadi di dalam kelenjar timus dan mengalami pematangan di kelenjar tersebut. Hanya 5-10% sel T yang menjadi matang dan meninggalkan timus untuk masuk dalam sirkulasi. Selama masa pematangan, sel T mengekspresikan antigen-binding receptor pada membrannya yang disebut reseptor sel T. Sel T hanya bisa mengenali antigen yang mengandung cell-membran protein, yang dikenal sebagai molekul Major Histocompatibility Complex (MHC). Bila sel T bertemu dengan antigen yang berikatan dengan molekul MHC, maka sel T akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T memori dan macam-macam sel T efektor.4

Secara fungsional sel T dibagi menjadi sel T helper (Th) dan sel T Cytotoxic. Dimana kedua sel ini menunjukkan perbedaan protein permukaan sel yaitu CD4 pada sel T helper dan CD8 pada sel-sel sitotoksik. Sel T helper (inducer T-cells/limfosit CD4), lebih lanjut dibagi lagi menjadi sel Th1 dan sel Th2, berdasarkan cytokine-producing properties. Sel Th1 merupakan sel T pro infmatory dan untuk menstimulasi makrofag, sehingga penting pada pertahanan melawan patogen-patogen intraseluler. Sel Th2 mengatur diferensiasi dan maturasi sel-sel B dan oleh karenanya terlibat dalam produksi imunitas humoral (antibody mediated). Limfosit Th2 memiliki peranan penting dalam proteksi melawan penyakit-penyakit parasitik. Sel T sitotoksik  disebut juga limfosit CD8. Sel ini terutama bertanggung jawab untuk sitolitik sel-sel yang terinfeksi virus, sel-sel malignan dan juga untuk rejeksi jaringan atau organ cangkok (tissue allograft).7, 8

ANTIBODI/IMUNOGLOBULIN

Molekul antibodi digolongkan dalam protein yang disebut globulin sehingga disebut imunoglobulin. Dua cirinya yang penting ialah spesifitas dan aktivitas biologik. Antibodi dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B yang terjadi setelah kontak dengan antigen. Antibodi terdistribusi secara luas dalam plasma dan cairan-cairan sekretoris seperti air mata, air susu, dan sekresi mukosa.      4, 7, 8

Dalam sistem imun manusia terdapat lima tipe Antibodi, yaitu IgM, IgD, IgA, IgE, dan IgG. IgG terbagi lagi menjadi 4 sub kelas yaitu IgG1 sampai IgG4 sedangkan IgA memiliki 2 sub kelas yaitu IgA1 dan IgA2.2, 4, 7

Semua molekul imunoglobulin mempunyai 4 rantai polipeptida dasar yang terdiri atas 2 rantai berat (heavy chain) dan 2 rantai ringan (light chain) yang identik. Ada 2 jenis rantai ringan (kappa dan lambda) yang terdiri atas 230 asam amino serta 5 jenis rantai berat yang tergantung pada kelima jenis imunoglobulin, yaitu IgM, IgG, IgE, IgA&IgD. Rantai berat terdiri atas 450-600 asam amino, hingga berat dan panjang rantai berat tersebut adalah dua kali rantai ringan. Enzim papain memecah molekul antibodi dalam fragmen. Dua fragmen tetap memiliki sifat antibodi yang dapat mengikat antigen secara spesifik, bereaksi dengan epitop disebut Fragmen antigen binding (Fab). Fragmen ketiga dapat dikristalkan dari larutan & disebut Fragmen crystallizable (Fc).4, 7

ANTIGEN

Antigen adalah bahan yang dapat merangsang respon imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi. Secara fungsional antigen dibagi menjadi imunogen dan hapten. Imunogen adalah antigen yang pengikatannya melibatkan suatu respon imun. Sedangkan hapten merupakan determinan antigen dengan berat molekul yang kecil dan baru menjadi imunogen bila diikat oleh protein pembawa (carrier) yang besar. Bahan kimia ukuran kecil seperti dinitrofenol dapat diikat antibodi, tetapi bahan tersebut sendiri tidak dapat mengaktifkan sel B. Untuk memacu respon antibodi, bahan kecil tersebut perlu diikat oleh molekul besar. Kompleks yang terdiri atas molekul kecil (hapten) dan molekul besar (karier atau molekul pembawa) dapat berperan sebagai imunogen. Contoh hapten ialah berbagai golongan antibiotik dan obat lainya dengan berat molekul kecil. Hapten membentuk epitop pada molekul pembawa yang dikenal sistem imun dan merangsang pembentukan antibodi.4

SITOKIN

Sitokin sering pula disebut interleukin yang berarti diantara sel darah putih merupakan molekul-molekul kecil yang bekerja sebagai suatu sinyal antara sel-sel dan memiliki berbagai peran antara lain kemotaksis, pertumbuhan seluler dan sitotoksisitas. Sitokin terdiri dari lymphokines yang dihasilkan oleh sel B dan sel T, dan monokines yang disekresi oleh monosit dan makrofag, serta mediator lainnya yang disekresi oleh sel-sel lain. Sitokin ini merupakan “messenger” kimia. Dengan mengikat reseptor spesifik pada sel target, sitokin merekrut banyak sel-sel lainnya ke lapangan kerja (field of action).7      
C. ORGAN SISTEM LIMFOID
Sel-sel sistem imun ditemukan dalam jaringan dan organ yang disebut sistem limfoid. Sistem tersebut terdiri atas limfosit, sel epitel dan stroma yang tersusun dalam organ dengan kapsul atau berupa kumpulan jaringan limfoid yang difus. Organ limfoid yang berupa kumpulan nodul kecil yang mengandung banyak limfosit, merupakan tempat awal terjadinya respon imun spesifik terhadap antigen protein yang dibawa melalui sistem limfoid. Organ limfoid dapat dibagi dalam organ limfoid primer dan sekunder. 3, 4, 6
Organ limfoid primer atau sentral diperlukan untuk pematangan, diferensiasi dan proliferasi dari sel T dan B sehingga menjadi limfosit yang dapat mengenal antigen. Karena itu organ tersebut berisikan limfosit dalam berbagai fase diferensiasi. Ada 2 organ limfoid priemer yaitu kelenjar timus dan Bursa Fabricius atau sejenisnya seperti sumsum tulang. Organ limfoid sekunder yang paling utama adalah Mucosal Associated Lymphoid Tissue (MALT). Organ ini terdapat di beberapa bagian tubuh seperti kulit, bronkus, saluran cerna, konjungtiva, mukosa hidung, mammae dan serviks uterus. Organ limfoid sekunder yang lainnya seperti kelenjar getah bening yang merupakan rute tempat lewatnya APC dan sel dendritik untuk membawa mikroba yang ditangkapnya pada jaringan, dan limpa yang merupakan tempat respon imun utama terhadap antigen yang masuk melalui darah. Pada limpa ini terdapat dua zona yaitu zona sel T (sentra germinal) dan zona sel B (zona folikel). Limpa ini merupakan tempat utama fagosit memakan mikroba yang dilapisi antibodi oleh proses opsonisasi. Fungsi fagositosis akan terganggu bila tidak ada limpa, dimana mikroba yang berkapsul hanya akan dimakan oleh fagosit dilimpa setelah terjadi opsonisasi.3,4, 6

D. LINTAS ARUS LIMFATIK
Sistem limfatik adalah sistem saluran limfe yang meliputi seluruh tubuh yang dapat mengalirkan isinya ke jaringan dan kembali sebagai transudat ke sirkulasi darah. Dua saluran utama ialah duktus torasikus dan duktus limfatikus. APC dan sel dendritik menggunakan lintas ini untuk membawa benda asing yang ditangkapnya untuk kemudian dipresentasekan pada sel limfosit. Sel limfosit juga akan memakai jalur ini untuk mengaktifkan sel-sel efektor lainnya. Setelah migrasi dari limfosit ini ke tempat infeksi, limfosit ini akan kembali lagi ke tempat asalnya. 3, 4, 6
E. DETERMINAN
Berbagai faktor yang disebut determinan berpengaruh terhadap sistem imun nonspesifik. Antara lain spesies, keturunan dan usia, hormon, suhu, faktor nutrisi atau gizi dan flora bakteri normal. 4

III. SISTEM IMUN PADA MATA
Seperti halnya dengan respons imun yang terjadi di organ-organ lain, mata juga memberikan respon imun baik humoral maupun seluler. Mata merupakan kelanjutan susunan saraf pusat sedangkan konjungtiva merupakan kelanjutan dari jaringan ikat. Mata merupakan bagian tubuh yang unik yang dapat memberikan petanda dari proses imun aktif langsung. Mata memiliki mekanisme perlindungan yang bersifat non imun dan imun secara alamiah.4, 5, 7, 8

A. PROTEKSI NON IMUN (BARIER ANATOMIK) :
Mekanisme perlindungan yang bersifat non imun secara alamiah antara lain :
1.      Palpebra, yang melindungi mata dari paparan dengan lingkungan luar. Palpebra  melindungi permukaan okuler terhadap organisme yang tersebar di udara, benda asing dan trauma minor.
2.      Bulu mata, mampu mendeteksi adanya benda asing dan segera memicu kedipan mata.
3.      Air mata, mempunyai efek mengencerkan dan membilas. Memegang peranan dalam menjaga integritas dari epitel konjungtiva dan kornea yang berfungsi sebagai barier anatomi. Pembilasan yang terus menerus pada permukaan okuler mencegah melekatnya mikroorganisme pada mata.5, 7
                 Integrasi antara palpebra, silia, air mata dan permukaan okuler merupakan sebuah mekanisme proteksi awal terhadap benda asing. Epitel kornea adalah epitel skuamosa non keratin yang terdiri hingga lima lapis sehingga akan menyulitkan mikroorganisme untuk menembus lapisan-lapisan tersebut. Selain itu kornea juga diinervasi oleh ujung serabut saraf tidak bermielin sehingga akan memberikan peringatan awal yang sangat cepat bagi mata terhadap trauma dikarenakan oleh sensitifitasnya.5, 7

B. PROTEKSI IMUN :
1.           SISTEM  LAKRIMALIS
Proteksi imun untuk mucosal surface termasuk permukaan okuler adalah Mucosa-Associated Lymphoid Tissue (MALT) . MALT terbentuk oleh adanya interkoneksi dari daerah mukosa yang memberikan gambaran imunologis spesifik tertentu yaitu  terdapat banyak APC, struktur khusus untuk memproses antigen secara terlokalisir (tonsil) dan sel efektor (sel T intraepitelial dan sel mast yang berlimpah). Salah satu fungsi utama MALT adalah untuk menciptakan keseimbangan antara imunitas dan toleransi untuk mencegah kerusakan jaringan mukosa. 5, 7, 9, 12
Jaringan limfoid difus pada permukaan glandula lakrimal, duktus lakrimal, konjungtiva (conjunctival associated lymphoid tissue atau CALT) dan berlanjut sampai kanalikulus serta sistem drainase lakrimal (lacrimal drainade–associated lymphoid tissue atau  LDALT) secara keseluruhan disebut Eye-Associated Lymphoid Tissue (EALT). EALT merupakan kumpulan sel-sel limfoid yang terletak pada epitel permukaan mukosa. Sel-sel ini menghasilkan antigen dan mampu  menginduksi terjadinya respon imun seluler maupun humoral. Kelenjar lakrimalis merupakan penghasil IgA terbesar bila dibandingkan dengan jaringan okuler lainnya.12,13

2.           TEAR FILM
Air mata mengandung berbagai mediator seperti histamin, triptase, leukotrin dan prostaglandin yang berhubungan dengan alergi pada mata. Mediator-mediator itu berasal dari sel mast. Semuanya dapat menimbulkan rasa gatal, kemerahan, air mata dan mukus yang berhubungan dengan penyakit alergi akut dan kronis. Pengerahan komponen seluler lokal melibatkan molekul adhesi seperti Intercelluler Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) di epitel konjungtiva yang meningkatkan adhesi leukosit ke epitel dan endotel. Ekspresi molekul adhesi diatur oleh banyak komponen ekstraseluler dan intraseluler seperti sitokin proinflamasi, matriks protein ekstraseluler dan infeksi virus. 5, 7
Pada lapisan mukus yang diproduksi oleh sel goblet dan sel epitel konjungtiva, glikocalyx yang disintesis epitel kornea membantu perlekatan lapisan mukus sehingga berhubungan dengan imunoglobulin pada lapisan akuos. Pada lapisan akuos sendiri, banyak mengandung faktor-faktor terlarut yang berperan sebagai antimikroba. Seperti laktoferin, lisozim, dan β-lisin. Laktoferin berfungsi utama dalam mengikat besi yang dibutuhkan oleh pertumbuhan bakteri, sehingga bersifat bakteriostatik dan bakterisidal. Lisozim efektif dalam menghancurkan dinding sel bakteri gram positif. β-lisin memiliki kemampuan dalam merusak dinding sel mikroorganisme. Selain faktor terlarut tersebut, lapisan akuos juga mengandung banyak IgA yang sangat efektif dalam mengikat mikroba, lalu melakukan opsonisasi, inaktivasi enzim dan toksin dari bakteri, serta berperan langsung sebagai efektor melalui Antigen Dependent Cell Cytotoxycity (tanpa berinteraksi dengan komplemen).7, 8, 9

3.         KONJUNGTIVA
Konjungtiva terdiri dari dua lapisan : lapisan epitel dan lapisan jaringan ikat yang disebut substansia propria. Konjungtiva tervaskularisasi dengan baik dan memiliki sistem drainase limfe yang baik ke limfonodi preaurikularis dan submandibularis. Jaringan ini mengandung banyak sel Langerhans, sel dendritik dan makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC) yang potensial. Folikel pada konjungtiva yang membesar setelah infeksi ataupun inflamasi pada ocular surface menunjukkan adanya kumpulan sel T, sel B dan APC. Folikel ini merupakan daerah untuk terjadinya respon imun terlokalisir terhadap antigen oleh sel B dan sel T secara lokal di dalam folikel.5, 7,13
Proteksi imun untuk mucosal surface termasuk ocular adalah Mucosa-Associated Lymphoid Tissue. MALT terbentuk oleh adanya interkoneksi dari daerah mukosa yang memberikan gambaran imunologis spesifik tertentu yaitu banyak terdapat APC, struktur khusus untuk memproses antigen secara terlokalisir (Peyer’s patches atau tonsil) dan sel efektor (sel T intraepitelial dan sel mast yang berlimpah). Salah satu fungsi utama MALT adalah untuk menciptakan keseimbangan antara imunitas dan toleransi untuk mencegah kerusakan jaringan mukosa.5, 7, 9
Substansia propria kaya akan sel-sel imun dari bone marrow yang akan membentuk sistem imun mukosa pada konjungtiva yang dikenal dengan Conjunctiva Associated Limphoied Tissue (CALT) yang merupakan salah satu bagian dari MALT. CALT merupakan sistem imunoregulasi yang utama bagi konjungtiva. Pada substansia propria terdapat neutrofil, limfosit, IgA, IgG, sel dendrite dan sel mast. Eosinofil dan basofil tidak ditemukan pada konjungtiva yang sehat. Konjungtiva mengandung banyak sel mast. IgA merupakan antibodi yang paling banyak dalam lapisan air mata. IgA menyerang bakteri dengan cara “membungkusnya” sehingga mencegah terjadinya perlekatan antara bakteri dengan sel epitel. Molekul terlarut yang banyak adalah komplemen. Respon imun yang terjadi pada konjungtiva sebagian besar merupakan respon imun yang dimediasi oleh antibodi dan limfosit, namun juga terdapat respon imun yang dimediasi oleh IgE terhadap sel mast pada reaksi alergi.5, 7, 9

4.       SKLERA    
 Sklera sebagian besar terdiri atas jaringan ikat kolagen. Hal ini menyebabkan sklera bersifat  relatif lebih avaskuler dibandingkan dengan konjungtiva. Karenanya pada sklera hanya terdapat sedikit sel imun jika dibandingkan dengan konjungtiva. Dalam keadaan normal sklera hanya sedikit mengandung sel-sel limfosit, makrofag dan neutrofil.  Namun sebagai respon imun saat terjadi inflamasi pada sklera sel-sel imun tersebut memasuki sklera melalui pembuluh darah episklera dan pembuluh darah koroid  Pada saat istirahat IgG ditemukan dalam jumlah yang cukup besar.  5, 7, 15

5.     KORNEA
Kornea unik karena bagian perifer dan sentral jaringan menunjukkan lingkungan mikro imunologis yang jelas berbeda. Hanya bagian limbus yang tervaskularisasi. Limbus banyak mengandung sel Langerhans, namun bagian perifer, parasentral dan sentral dari kornea dalam keadaan normal sama sekali tidak mengandung APC. Namun demikian, berbagai stimulus dapat membuat sitokin tertentu (seperti IL-1) menarik APC ke sentral kornea. Komplemen, IgM dan IgG ada dalam konsentrasi sedang di daerah perifer, namun hanya terdapat IgG dengan level yang rendah pada daerah sentral. 5, 7, 16
Sel kornea juga terlihat mensintesis berbagai protein imunoregulasi dan antimikrobial. Sel efektor tidak ada atau hanya sedikit terdapat pada kornea normal, namun PMN, monosit dan limfosit siap siaga bermigrasi melalui stroma jika stimulus kemotaktik teraktivasi. Limfosit, monosit dan PMN dapat pula melekat pada permukaan endotel selama inflamasi, memberikan gambaran keratik presipitat ataupun garis Khodadoust pada rejeksi endotel implan kornea. Proses lokalisasi dari suatu respon imun tidak terjadi pada kornea, tidak seperti halnya pada konjungtiva. 5, 7, 16
Kornea juga menunjukkan suatu keistimewaan imun (Immune Privilege) yang berbeda dengan uvea. Keistimewaan imun dari kornea bersifat multifaktorial. Faktor utama adalah struktur anatomi limbus yang normal, dan lebih khusus lagi kepada keseimbangan dalam mempertahankan avaskularitas  dan tidak adanya APC pada daerah sentral kornea. Ditambah oleh tidak adanya pembuluh limfe pada daerah sentral, menyebabkan lambatnya fase pengenalan pada daerah sentral. Meski demikian, sel-sel efektor dan molekul-molekul lainnya dapat menginfiltrasi kornea yang avaskuler melalui stroma. Faktor lain adalah adanya sistem imunoregulasi yang intak dari bilik mata depan, dimana mengadakan kontak langsung dengan endotel kornea. 5, 7, 16

6.       BILIK MATA DEPAN, UVEA  ANTERIOR  DAN VITREUS
Bilik mata depan merupakan rongga berisi cairan humor akuos yang bersirkulasi menyediakan medium yang unik untuk komunikasi interseluler antara sitokin, sel imun dan sel pejamu dari iris, badan siliar dan endotel kornea. Meskipun humor akuos relatif tidak mengandung protein jika dibandingkan dengan serum (sekitar 0,1 – 1,0 % dari total protein serum), namun humor akuos mengandung campuran kompleks dari faktor-faktor biologis, seperti sitokin, neuropeptida, dan inhibitor komplemen yang mampu mempengaruhi peristiwa imunologis dalam mata. Terdapat blood aquous barrier yakni Tight junction antara epitel nonpigmen memberikan barier yang lebih eksklusif yang dapat mencegah makromolekul interstisiel menembus secara langsung melalui badan silier ke humor akuos. Meski demikian, sejumlah kecil makromolekul plasma melintasi barier epitel nonpigmen ini dan dapat meresap dengan difusi ke anterior melalui uvea memasuki bilik mata depan melalui permukaan iris anterior. 5, 7
Intraokuler tidak mengandung pembuluh limfe. Pengaliran sangat tergantung pada saluran aliran humor akuos untuk membersihkan substansi terlarut dan pada endositosis oleh sel endotelial trabekula meshwork atau makrofag untuk pembersihan partikel-partikel.5, 7
Traktus uvea merupakan bagian yang penting dalam sudut pandang imunologi.Uvea banyak mengandung komponen seluler dari sistem imun termasuk makrofag, sel mast, limfosit dan sel plasma. Iris dan badan siliar mengandung banyak makrofag dan sel dendritik yang berperan sebagai APC ataupun sebagai sel efektor. Proses imun tidak mungkin terjadi secara terlokalisasi, namun APC meninggalkan mata melalui trabekula meshwork bergerak ke lien tempat terjadinya proses imun seluler, berupa aktivasi sel T supresor CD8+. Konsentrasi IgG, komplemen dan kalikrein sangat rendah didapat pada bilik mata depan yang normal.5, 7
Uvea anterior memiliki sistem imunoregulasi yang telah digambarkan sebagai immune privilege (keistimewaan imun). Konsep modern mengenai immune privilege ini mengacu pada pengamatan bahwa implan tumor atau allograft dengan tidak diharapkan dapat bertahan lebih baik dalam regio ini, sedangkan implan atau graft yang sama mengalami penolakan lebih cepat pada daerah tanpa keistimewaan imun. Daerah immune privilege lain yaitu ruang subretina, otak dan testis. Meskipun sifat dasar dari antigen yang terlibat mungkin penting, immune privilege dari uvea anterior telah diamati dengan banyak antigen, meliputi antigen transplantasi, tumor, hapten, protein terlarut, autoantigen, bakteri dan virus.5, 7
Immune privilege dimediasi oleh pengaruh fase aferen dan efektor dari lintasan respon imun. Imunisasi dengan menggunakan segmen anterior sebagai fase aferen dari respon imun primer berakibat dihasilkannya efektor imunologis yang unik. Imunisasi seperti dengan protein lensa atau autoantigen lain melalui bilik mata depan tidak menyebabkan terjadinya pola imunitas sistemik yang sama seperti yang ditimbulkan oleh imunisasi pada kulit. Imunisasi oleh injeksi bilik mata depan pada hewan coba menyebabkan terjadinya perubahan bentuk imunitas sistemik terhadap antigen yang disebut Anterior Chamber-Associated Immune Deviation (ACAID).5, 7, 13
Pada vitreus tidak ditemukan kekhususan tertentu. Gel vitreus dapat mengikat protein dan berfungsi sebagai depot antigen. Gel vitreus secara elektrostatik dapat mengikat substansi protein bermuatan dan mungkin kemudian berperan sebagai depot antigen dan substrat untuk adhesi sel leukosit. Karena vitreus mengandung kolagen tipe II, ia dapat berperan sebagai depot autoantigen potensial pada beberapa bentuk uveitis terkait arthritis.5, 7, 12

7.       RETINA DAN KOROID
Sirkulasi retina menunjukkan adanya blood retinal barrier pada tight junction antara sel endotel pembuluh darah. Pembuluh darah koriokapiler sangat permeabel terhadap makromolekul, memungkinkan terjadinya transudasi sebagian besar makromolekul plasma ke ruang ekstravaskular dari koroid dan koriokapiler. Tight junction antar sel RPE menyediakan barier fisiologis antara koroid dan retina. Pembuluh limfe tidak didapatkan pada retina dan koroid, namun APC ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi. Mikroglia (derifat monosit) pada retina memiliki peran dalam menerima stimulus antigenik, dapat mengadakan perubahan fisik dan bermigrasi sebagai respon terhadap berbagai stimuli.5, 7, 12
RPE dapat diinduksi untuk mengekspresikan molekul MHC kelas II, yang menunjukkan bahwa RPE juga dapat berinteraksi dengan sel T. Namun pada keadaan normal, segmen posterior tidak mengandung sel limfosit. Perisit yang berada pada pembuluh darah retina dapat mensintesis berbagai sitokin yang berbeda (seperti TGF-β)yang dapat mengubah respon imun yang terjadi setelahnya. Proses imun yang terlokaliser juga tidak terjadi pada segmen posterior ini.5, 7, 13

IV.  BAHASAN KHUSUS DALAM SISTEM IMUN PADA MATA
  1. IMMUNE PRIVILEGE (KEISTIMEWAAN IMUNITAS)
Immune privilege menggambarkan beberapa organ tubuh yang memiliki kemampuan toleransi pengenalan antigen tanpa menyebabkan terjadinya inflamasi sebagai respon imun. Beberapa organ yang memiliki immune previlege adalah otak, mata, uterus dan testis. Immune previlege dapat dikatakan sebagai evolusi dari adaptasi tubuh untuk melindungi fungsi organ vital dari respon imun yang dapat menimbulkan kerusakan. Inflamasi pada otak atau mata dapat menyebabkan hilangnya fungsi organ tersebut.10, 17
Keberadaan immune previlege pada mata diketahui pada akhir abad 19 oleh Medawar.  Mata merupakan struktur dengan keistimewaan imunitas, terlindungi dari sistem imun oleh berbagai mekanisme. Perlu ditekankan bahwa keistimewaan imunitas bukan berarti ketidakmampuan host memicu respon imun, namun merupakan kemampuan menghindarkan diri dari konsekuensi berat yang terjadi akibat adanya proses inflamasi. Pada tahap dimana terjadi gangguan dari mekanisme ini, akan menyebabkan inflamasi yang lebih berat yang bias mengancam penglihatan. Baik dari faktor infeksi maupun mekanisme imun, sangat berpengaruh dalam memicu kelemahan mekanisme keistimewaan imunitas mata.5, 7, 10
Faktor-faktor yang mempengaruhi keistimewaan imunitas pada mata:
  1. Adanya  Blood Ocular Barrier
  2. Tidak terdapatnya drainase limfatik pada mata
  3. Adanya faktor-faktor imunomodulator pada humor akuous
  4. Adanya ligand imunomodulator pada permukaan sel-sel parenkim okular
  5. Adanya kemampuan toleransi imun pada bilik mata depan dan bilik mata belakang (Anterior Chamber Associated Immune Deviation / ACAID). 5, 7, 10, 17
  1. INFLAMASI
Inflamasi didefinisikan sebagai reaksi lokal jaringan terhadap cidera. Reaksi dapat menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang berdampak terjadinya vasodilatasi, kebocoran vaskulatur mikro dengan eksudasi cairan dan protein serta infiltrasi lokal sel-sel inflamasi. Sel fagosit diperlukan untuk menyingkirkan bahan-bahan asing dan mati di jaringan yang cidera. Mediator inflamasi yang dilepas fagosit seperti enzim, radikal bebas anion superoksid dan oksida nitrit berperan untuk menghancurkan makromolekul dalam cairan eksudat. Namun respon inflamasi merupakan resiko yang harus diperhatikan pejamu. Bila terjadi rangsangan yang menyimpang dan menetap atau bahkan ditingkatkan. Reaksi dapat berlanjut yang menimbulkan kerusakan jaringan pejamu dan penyakit.4, 5, 7
              Pada inflamasi akut terjadi reaksi yang cepat terhadap benda asing, dapat beberapa jam sampai hari. Gejala inflamasi dini ditandai dengan lepasnya berbagai mediator sel mast seperti histamin dan bradikinin, yang diikuti oleh aktivasi komplemen dan sistem koagulasi. Sel endotel dan sel inflamasi akan melepas mediator yang menimbulkan efek sistemik seperti panas. Netrofil yang dikerahkan ke lokasi cidera akan melepas produk toksik. Bila penyebab inflamasi tidak dapat disingkirkan atau terjadi pajanan berulang-ulang dengan antigen, akan terjadi inflamasi kronik yang dapat merusak jaringan dan kehilangan fungsi sama sekali.4,5, 7
Bila inflamasi terkontrol, neutrofil tidak lagi dikerahkan dan berdegenerasi. Selanjutnya dikerahkan sel mononuklear seperti monosit, makrofag, limfosit dan sel plasma yang memberikan gambaran inflamasi kronik. Dalam inflamasi kronik ini, monosit-makrofag memiliki 2 peran yaitu memakan dan mencerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang berdegenerasi serta modulasi respon imun dan fungsi sel T melalui presentasi antigen dan sekresi sitokin. Monosit-makrofag juga mempunyai fungsi dalam penyembuhan luka dan memperbaiki parenkim dan fungsi sel inflamasi melalui sekresi sitokin. 4, 5, 7
       Inflamasi yang terjadi pada praktek sehari-hari biasanya berfungsi secara fisiologis pada level subklinis tanpa manifestasi yang jelas. Misalnya, pada sebagian besar individu, paparan alergen permukaan okular yang terjadi tiap hari pada semua manusia atau kontaminasi bakteri selama operasi katarak yang terjadi pada sebagian besar mata biasanya di”bersih”kan oleh mekanisme respon imun bawaan atau adaptif tanpa inflamasi yang jelas. 4, 5, 7
  1. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya berfungsi protektif, namun respon imun juga dapat menimbulkan akibat buruk.Hal ini disebut dengan penyakit hipersensitivitas. Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. 7
Reaksi hipersensitivitas secara umum dibagi menurut mekanismenya oleh Robert Coombs dan Philip HH Gell pada tahun 1963. Lalu klasifikasi ini ditambahkan menjadi 5 Tipe. 4, 6, 7  

Hipersensitivitas Tipe I : Alergi
Hipersensitivitas tipe I terdiri atas tiga fase. Yang pertama, alergen menyebabkan produksi IgE pada paparan pertama yang disebut fase sensitasi. IgE kemudian kontak dengan sel mast dan basofil. Fase kedua terjadi pada paparan kedua oleh antigen yang sama, dimana akan diproduksi lebih banyak IgE dan terjadi degranulasi sel mast sehingga menghasilkan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin dan bradikin.4, 5, 6, 7, 18
Fase ketiga adalah terjadinya reaksi sebagai efek dari mediator-mediator yang dilepas oleh sel mast dengan aktivitas farmakologik.  Manifestasi okuler adalah konjungtivitis alergi, konjungtivitis papil raksasa, keratokonjungtivitis atopik dan keratokonjungtivitis vernal.4, 5, 6, 7, 18

Hipersensitivitas Tipe II : Sitotoksik
Tipe ini melibatkan antibodi IgG dan IgM, yang dapat menyebabkan lisis seluler akibat dari adanya dan teraktivasinya sel inflamasi yang berinteraksi dengan komplemen. Antibodi akan mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R, dimana salah satunya adalah sel NK. Sel NK akan menyebabkan lisisnya sel yang terpapar antigen melalui Antibody Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC) (tanpa interaksi dengan komplemen). Manifestasi okuler : Ulkus Mooren dan Sikatriks Pemfigoid, Dermatitis Herpetiformis.4, 5, 6, 7, 18 
 
Hipersensitivitas Tipe III : Kompleks Antigen-Antibodi
Hipersensitivitas tipe III terjadi akibat penimbunan kompleks antigen-antibodi. Normalnya, kompleks imun akan disingkirkan oleh fagosit, namun bila terdapat kompleks imun yang persisten akan mengaktifkan komplemen sehingga sel inflamasi memasuki deposit kompleks imun. 4, 5, 6, 7
Karena pembuluh darah lebih mudah untuk menjadi tempat deposit kompleks imun, maka badan siliar merupakan bagian yang mudah mengalami reaksi tipe ini. Manifestasi okuler : Uveitis, Sindroma Behcet dan Sindroma Sjögren.4, 5, 6, 7

 Hipersensitivitas Tipe IV : Tipe Lambat
Terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe ini diawali oleh adanya peptida antigen yang dipresentasikan oleh APC ke sel T. Sel T ini akan bermigrasi ke jalan masuk antigen dan melepaskan mediator inflamasi seperti TNF. Reaksi ini terdiri dari 2 tipe yaitu Delayed Type Hypersensitivity (DTH) dan T Cell Mediated Cytolisis (TMC). Pada DTH, sel CD4+ Th 1 melepas sitokin IFN-γ yang mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai sel efektor. Pada DTH terdapat 2 fase yaitu fase sensitasi (pengenalan) dan fase peningkatan respon imun. Pada TMC, sel CD8+ yang langsung membunuh sel sasaran (efektor). Manifestasi okuler : Simpatetik oftalmia, Uveitis idiopatik, alergi okuler, reaksi penolakan transplantasi kornea      4, 5, 6, 7, 18

Hipersensitivitas Tipe V : Stimulasi
Merupakan kategori yang baru dimana autoantibodi terikat pada reseptor hormon yang menyerupai hormon itu sendiri. Hal ini mengakibatkan stimulasi terhadap sel target. Contoh reaksi ini adalah pada tirotoksikosis.7
  1. AUTOIMUNITAS
Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Potensi untuk autoimunitas ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit dapat mengekspresikan reseptor spesifik untuk banyak self-antigen. Autoimunitas terjadi karena self-antigen yang dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi serta diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan dan berbagai organ. Baik antibodi maupun sel T atau keduanya dapat berperan dalam patogenesis penyakit autoimun. 3, 4, 5, 6
Penyakit autoimun merupakan akibat dari rusaknya mekanisme imunoregulator. Penyebabnya merupakan multifaktorial. Dapat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, infeksi dan genetik. Salah satu faktor yang menarik dalam imunologi adalah hubungan antara Human Leucocyte Antigen (HLA) dan penyakit autoimun. 3, 4, 5, 6
HLA adalah MHC pada manusia yang merupakan regio genetik luas yang menyandi molekul MHC-I, MHC-II dan protein lain. Molekul MHC diekspresikan pada semua permukaan sel dengan nukleus sedang MHC-II diekspresikan terutama pada permukaan sel khusus seperti APC, sel dendritik, makrofag, sel B, sel endotel dan sel epitel timus. 3
Molekul MHC-I dan MHC-II berperan pada pengenalan imun, yaitu pada presentasi fragmen antigen kepada sel T. Molekul MHC-I terdiri atas HLA-A, HLA-B dan HLA-C. Jika protein mikroba telah masuk kedalam kompartemen intraseluler, maka protein tersebut akan diikat oleh molekul MHC-I yang selanjutnya akan diekspresikan pada permukaan sel untuk dipresentasikan kepada sel T CD8+ / Cytotoxic T Lymphocyte (CTL). Namun sel darah merah tidak mengekspresikan molekul MHC-I, sehingga memudahkan bagi Plasmodium hidup didalamnya tanpa intervensi sistem imun. Molekul MHC-II terdiri atas HLA-D (DP, DQ dan DR). Molekul MHC-II mengikat molekul protein mikroba yang sudah diproses oleh sel APC menjadi kompleks yang kemudian diangkut ke permukaan sel sehingga dapat dikenal oleh sel T CD4+. 3

IV.   PENUTUP
Sistem imun adalah gabungan sel, molekul dan jaringan tubuh yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Peran utama dari sistem imun ialah untuk melindungi sel pejamu (host) dari substansi asing yang berbahaya, mikroorganisme, toksin-toksin serta sel-sel tumor.
 Kelainan pada mata berupa reaksi inflamasi hasil dari respon imunitas bawaan ataupun adaptif dapat menyerang bagian mata mulai dari permukaan bola mata hingga seluruh bagian mata. Konsekuensi dari suatu reaksi inflamasi pada mata yakni dapat mengancam penglihatan, sehingga imunitas pada mata merupakan hal yang penting.
Pada sistem imun pada mata yang kompleks, dapat terjadi reaksi imun yang serupa dengan sistem imun tubuh secara keseluruhan, dengan memberikan pertahanan terhadap mikroorganisme. Mata memiliki keistimewaan imun(immune privilege) yang mampu menekan terjadinya reaksi imun. Keistimewaan imunitas ini bukanlah ketidakmampuan host memicu respon imun, namun merupakan kemampuan menghindar dari konsekuensi berat yang timbul akibat terjadinya inflamasi. Reaksi imun patologis dapat berupa reaksi hipersensitivitas maupun reaksi autoimun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar